“Lebih baik saya menghembuskan udara yang tersisa di paru-paru saya untuk mati,” kenangnya dalam wawancara bersama National Geographic.
Namun, secara ajaib, Ryo terselamatkan oleh lemari. Ia memegangnya erat sebagai pelampung. Saat arus mulai surut, ia akhirnya bisa menjejak tanah. Tapi yang dilihatnya saat itu bukan lagi kota, melainkan puing-puing dan jasad-jasad yang mengapung.
Ia menyaksikan orang-orang yang berhasil bertahan di atas reruntuhan, sementara lainnya sudah tidak bernyawa. Sebuah pemandangan yang tak akan terlupakan seumur hidup. Ryo sendiri selamat tanpa luka fisik, tapi trauma dan ancaman hipotermia menghantuinya.
Yang membuatnya bersyukur adalah, keluarga intinya—ayah, ibu, dan saudara perempuan—juga selamat. Hanya sang nenek yang hilang, tak pernah ditemukan, dan diduga tewas dalam bencana tersebut.
Bencana Belum Usai: Tsunami, Lalu Kebocoran Nuklir
Gempa megathrust berkekuatan M9.0 yang memicu tsunami itu tercatat sebagai salah satu gempa terkuat dalam sejarah modern. Gelombang tsunami bergerak hingga 700 km/jam, menghantam wilayah pantai timur Jepang dengan brutal.
Menurut situs Britannica, korban jiwa tercatat mencapai:
Kerusakan infrastruktur dan pemukiman begitu besar, menyebabkan ribuan rumah tak bisa dihuni kembali. Namun, seperti pepatah lama, sudah jatuh tertimpa tangga, bencana belum selesai.
Sehari setelah tsunami, pemerintah Jepang mengumumkan bahwa reaktor nuklir di Fukushima mengalami kebocoran. Bencana nuklir ini menyebabkan pencemaran radioaktif di lingkungan sekitar, memaksa evakuasi massal, dan membuat wilayah tersebut tak layak huni hingga waktu yang belum ditentukan.
Kisah Ryo: Pelajaran dari Bencana yang Mengubah Hidup
Kisah Ryo bukan hanya tentang bertahan hidup dari bencana alam dahsyat, tetapi juga simbol kekuatan manusia dalam menghadapi kehilangan, trauma, dan ketidakpastian. Ia kehilangan rumah, hampir kehilangan nyawanya, dan tak lagi bisa tinggal di lingkungan tempat ia dibesarkan.