Pengoperasian jalur turut membuat Jembatan Martadipura, yang dibangun ayah Rita yaitu Syaukani Hasan Rais, akhirnya berfungsi. Selama 15 tahun, “Jembatan Abunawas” tak bisa digunakan karena tidak memiliki jalan pendekat. Dari 11 segmen pekerjaan, jalan pendekat sepanjang 15 kilometer menghabiskan anggaran besar karena dibangun dengan struktur pile slab, jalan layang dengan tiang pancang.
Pekerjaan selanjutnya adalah segmen jalan di Desa Sebelimbingan menuju Desa Tuana Tuha di Kecamatan Kenohan sepanjang 32 kilometer. Di segmen inilah, titik yang memuat jalan bubur, terbengkalai pekerjaannya. Keterbatasan anggaran seiring termehek-meheknya APBD Kukar menjadi penyebabnya.
Dari 32 kilometer jalan di Desa Sebelimbingan, sepanjang 2 kilometer masih berbatu dan kasar. Celakanya, saat hujan datang di 2 kilometer itu, 400 meter jalan penuh lumpur. Sepanjang 100 meter adalah titik terparah yang membuat truk besar menginap bermalam-malam.
Permukaan jalur bubur di 100 meter itu botak. Batu untuk pengerasan jalan sudah tak terlihat. Tanah yang kini berlumpur adalah timbunan ketika jalan dibangun. Tanah uruk merah itu berubah menjadi lumpur bukan saja karena hujan sepekan. Badan jalan turun sekitar 1 meter sehingga posisinya di bawah permukaan Sungai Mahakam yang tepat di bahu jalan. Ketika sungai terpanjang di Kaltim itu pasang, jalur bubur jauh lebih tepat disebut rawa-rawa.
Luapan sungai dimanfaatkan pengusaha kapal tradisional. Mereka menyediakan jasa mengangkut sepeda motor di bahu jalan sebagai jalur alternatif. Satu sepeda motor dikenai Rp 20 ribu untuk sekali angkut.
Begitu keluar dari jalur bubur di Desa Tuana Tuha, Kenohan, jalan mulus terbentang lagi. Muka jalan sudah dicor maupun beraspal. Dari Desa Tuana Tuha menuju Desa Kelekat, Kecamatan Kembang Janggut, hingga jalur utama Kecamatan Tabang, sekitar 120 kilometer.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kukar Muhammad Yamin membenarkan belum ada proyek lanjutan dari sisa pekerjaan 32 kilometer. Seharusnya, kata dia, proyek lanjutan jalan Sebelimbingan-Tuana Tuha memerlukan Rp 202 miliar yang masuk proyek multiyears. Namun, anggaran yang terus mengerut tahun depan diperkirakan tak cukup menanggung seluruh keperluan. “Hanya sekitar Rp 50 miliar di APBD 2018. Kami memprioritaskan titik-titik yang rusak,” terang Yamin.
Diketahui, APBD Kukar terus menurun dari tahun ke tahun. Pada 2013, APBD Kukar tercatat pernah mencapai Rp 9,2 triliun. Setahun kemudian menurun menjadi Rp 7,6 triliun. Pada 2015 terus turun menjadi Rp 6,9 triliun dan 2016 menjadi Rp 6,9 triliun. Tahun ini, APBD Kukar benar-benar terjun bebas menjadi Rp 3,9 triliun.
DAMPAK BESAR
Nila setitik rusak susu sebelanga. Seratus meter jalur rusak membuat jalur 172 kilometer dari Kota Bangun-Tabang putus. Akses pendekat dari ujung Kukar menuju Kutai Barat dan Kutai Timur, yang juga memakai jalur tersebut, ikut terganggu.
Warga di tiga kecamatan adalah yang paling menderita. Menurut sensus Badan Pusat Statistik pada 2015, jumlah penduduk di Kenohan, Kembang Janggut, dan Tabang, mencapai 51 ribu jiwa. Jalur yang putus tak pelak membuat denyut perekonomian ikut melemah.
Nur Hadi, warga Kembang Janggut yang ditemui Kaltim Post di perjalanan, mengatakan kelangkaan bahan pokok mulai datang. Tabung gas elpiji 3 kilogram, contohnya, sudah menembus Rp 40 ribu sebiji. “Itu pun kalau masih ada yang menjual,” tuturnya.
Zainuddin, pengemudi yang mengangkut elpiji dari Tenggarong menuju Kembang Janggut, mengatakan biaya angkutan sangat mahal. Biaya tambahan karena jalan putus mencapai Rp 700 ribu untuk sekali angkut sebanyak 25 tabung.