Zaman sekarang, nama jalan sering kali diatur pemerintah kota, dengan plang yang jelas di setiap sudut. Tapi, jauh sebelum itu, penamaan jalan punya ceritanya sendiri, sebuah proses yang lebih organik, lahir dari kebiasaan, peristiwa, atau ciri khas suatu tempat. Nama-nama jalan kuno menyimpan kepingan sejarah, petunjuk arah, bahkan jejak peradaban yang kadang tak kita sadari.
Nama dari Ciri Fisik dan Geografis
Salah satu cara paling umum orang dahulu menamai jalan adalah berdasarkan ciri fisik atau geografis tempat itu sendiri. Gampang saja, apa yang paling menonjol di sana, itulah yang jadi nama. Jalan yang menanjak curam mungkin disebut Jalan Tanjakan, atau Jalan Bukit. Kalau ada pohon besar yang khas, mungkin jadi Jalan Pohon Beringin atau Jalan Kenari. Dekat sungai? Bisa jadi Jalan Kali, Jalan Pinggir Sungai, atau nama lain yang merujuk pada air.
Misalnya, di banyak tempat di Jawa, sering kita temukan nama jalan seperti Jalan Gajah Mada, yang mungkin dahulu ada patung gajah, atau Jalan Pintu Air, yang jelas menunjukkan keberadaan pintu air di lokasi tersebut. Nama-nama ini bersifat deskriptif, langsung merujuk pada kondisi nyata yang mudah dikenali oleh siapapun yang melintas. Ini membantu sebagai penanda arah alami sebelum ada peta atau nomor rumah yang sistematis. Penamaan semacam ini juga umum di Eropa, contohnya "High Street" di Inggris yang biasanya merujuk pada jalan utama yang lebih tinggi atau penting.