Ketegangan antara Arab dan Yahudi di Palestina kian membara, terutama ketika Inggris berupaya mendamaikan dua pihak yang berkonflik. Di satu sisi, jumlah imigran Yahudi meningkat drastis akibat tekanan politik, dan di sisi lain, hubungan antara kedua kelompok etnis ini semakin memburuk. Kekerasan yang berkecamuk memuncak pada tahun 1936 ketika Pemberontakan Arab pecah, berlangsung selama tiga tahun dan menghasilkan pembentukan sejumlah milisi pertahanan oleh komunitas Yahudi. Situasi ini menunjukkan bahwa kedua kelompok, baik Arab maupun Yahudi, berkomitmen untuk mendapatkan kendali atas wilayah tersebut.
Memasuki Perang Dunia II, kebijakan terkait Palestina semakin dipertanyakan. Inggris, yang tadinya terlihat mendukung pembentukan negara Yahudi, mulai membatalkan rencana imigrasi bagi orang Yahudi guna mendapatkan dukungan Arab dalam perjuangannya melawan Blok Poros. Dengan keadaan yang semakin rumit, di akhir perang, komunitas Yahudi di Palestina meningkat menjadi sekitar 600 ribu orang, sementara penduduk Arab juga bertambah menjadi satu juta jiwa.
Setelah perang berakhir, momentum untuk mendirikan negara Yahudi kembali muncul dengan fokus pada pembentukan negara Yudaisme yang diinginkan. Pengalaman pahit Holokaus yang menimpa orang Yahudi di Eropa semakin menggugah dukungan internasional. PBB pun terlibat dalam perdebatan panas ini dan mengusulkan rencana pembagian wilayah Palestina pada tahun 1947 menjadi dua negara, satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab. Proposal ini diterima sebagian besar orang Yahudi, namun ditolak oleh negara-negara Arab.