Sejarah adalah guru terbaik, demikianlah pepatah bijak yang sering kita dengar. Namun, jika kita melihat rekam jejak manusia pasca-Perang Dunia I dan Perang Dunia II, muncul pertanyaan mengganjal: apakah kita benar-benar belajar? Dua konflik global ini merenggut jutaan nyawa, menghancurkan peradaban, dan meninggalkan trauma mendalam yang mengubah peta dunia. Namun, ironisnya, banyak pelajaran pahit dari episode kelam tersebut yang seolah terabaikan, membuat kita terperosok ke dalam pola-pola konflik serupa, meskipun dalam skala dan bentuk yang berbeda.
Bangkitnya Nasionalisme Ekstrem dan Polarisasi
Salah satu pemicu utama Perang Dunia I dan II adalah gelombang nasionalisme ekstrem yang mengakar kuat. Setiap negara merasa diri superior, berhak atas wilayah tertentu, atau memiliki takdir untuk mendominasi. Sentimen ini diperparah oleh propaganda yang menggemakan kebencian terhadap "yang lain" dan membangun narasi bahwa kepentingan nasional harus dicapai dengan segala cara, bahkan dengan mengorbankan perdamaian.
Ironisnya, di era globalisasi ini, kita kembali menyaksikan kebangkitan bentuk-bentuk nasionalisme yang sempit. Polarisasi politik, baik di dalam negeri maupun antarnegara, semakin meruncing. Perbedaan pendapat bukan lagi dianggap sebagai keragaman, melainkan sebagai garis pertempuran yang harus dimenangkan. Retorika yang memecah belah, demonisasi lawan, dan penolakan untuk berdialog dengan pandangan berbeda, semua ini adalah gema dari bibit-bibit konflik masa lalu. Meskipun skalanya mungkin belum mencapai perang global, fondasi mentalitas "kita versus mereka" telah kembali terbangun.
Kegagalan Diplomasi dan Multilateralisme
Setelah Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa didirikan dengan harapan menjadi forum penyelesaian konflik damai. Ia gagal, membuka jalan bagi Perang Dunia II. Pasca-Perang Dunia II, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk dengan struktur yang lebih kuat dan harapan yang lebih besar. Meskipun PBB telah mencegah banyak konflik dan memfasilitasi kerjasama, kegagalan diplomasi dan melemahnya multilateralisme masih menjadi ancaman nyata.