Beberapa waktu terakhir, dunia pendakian Indonesia diguncang oleh kabar duka dari sejumlah insiden tragis yang menimpa para pendaki. Salah satunya adalah kematian Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang ditemukan tewas di Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat. Berdasarkan hasil autopsi, Juliana meninggal akibat luka serius yang disebabkan oleh benturan keras ketika ia terjatuh di area pendakian.
Sebelumnya, dua pendaki wanita asal Indonesia, Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono, juga dilaporkan meninggal dunia ketika mencoba mencapai Puncak Carstensz (Cartenz Pyramid) yang terletak di Kabupaten Mimika, Papua Tengah. Kedua korban diduga tewas akibat hipotermia yang dipicu oleh cuaca ekstrem dan paparan dingin berkepanjangan di ketinggian ekstrem.
Hipotermia: Musuh Diam-Diam Para Pendaki Gunung
Hipotermia merupakan kondisi darurat medis yang sering menghantui para petualang alam bebas, khususnya pendaki gunung. Dalam kondisi ini, tubuh mengalami penurunan suhu yang drastis hingga di bawah 35 derajat Celsius, seperti yang dijelaskan dalam referensi dari SehatQ. Tubuh manusia sebenarnya memiliki mekanisme alami untuk menjaga suhu agar tetap stabil. Namun, jika kehilangan panas terjadi lebih cepat daripada kemampuan tubuh menghasilkan panas, maka hipotermia dapat terjadi.
Yang membuat kondisi ini sangat berbahaya adalah prosesnya yang perlahan namun mematikan. Tubuh yang kehilangan panas akan mulai mengalami penurunan fungsi organ, penurunan kesadaran, bahkan kematian, apabila tidak segera ditangani.
Mengapa Hipotermia Terjadi Saat Mendaki?
Pendakian gunung menempatkan tubuh pada kondisi ekstrem: udara dingin, angin kencang, curah hujan tinggi, serta ketinggian yang memengaruhi metabolisme tubuh. Jika pendaki tidak mempersiapkan perlengkapan yang sesuai seperti jaket tahan angin, pakaian hangat berlapis, dan sleeping bag yang memadai, risiko hipotermia meningkat drastis.