Meski temuan ini mengindikasikan adanya korelasi antara makanan ultra-proses dengan kematian dini, para peneliti independen memperingatkan bahwa studi ini belum dapat membuktikan hubungan sebab-akibat secara langsung. Menurut mereka, mungkin saja faktor lain yang berkaitan seperti gaya hidup, tingkat kebugaran, dan pola aktivitas fisik yang lebih menentukan risiko kesehatan, sehingga makanan ultra-proses hanya menjadi salah satu elemen dalam gambaran yang lebih besar.
Stephen Burgess, ahli statistik dari Universitas Cambridge, Inggris, menyatakan bahwa makanan ultra-proses mungkin bukan penyebab langsung kematian dini. Namun, pola yang konsisten muncul di berbagai negara dan budaya menimbulkan dugaan kuat bahwa makanan ini memang berkontribusi negatif terhadap kesehatan.
Sebelumnya, berbagai penelitian juga telah mengaitkan konsumsi makanan ultra-proses dengan sejumlah masalah kesehatan serius. Awal tahun ini, Badan Penelitian Kanker dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan adanya hubungan antara makanan ultra-proses dan peningkatan risiko kematian akibat penyakit jantung, aneurisma, gangguan pencernaan, dan penyakit Parkinson. Meski demikian, tidak ditemukan bukti yang cukup kuat untuk mengaitkannya langsung dengan kanker atau Alzheimer.
Satu hal yang membuat penelitian tentang makanan ultra-proses menjadi rumit adalah belum adanya definisi baku mengenai kategori makanan ini. Kandungan nutrisi dan proses industri yang digunakan dalam pembuatan makanan ultra-proses sangat beragam, sehingga sulit untuk menyimpulkan efek negatifnya secara tepat. Para ilmuwan masih berusaha memahami apakah risiko kesehatan tersebut lebih disebabkan oleh kandungan bahan kimia tambahan atau dari proses pengolahan makanan yang kompleks.