Dalam kondisi lingkungan yang keras, kebutuhan untuk mempertahankan sumber daya alam sangat krusial. Babi yang boros air dan memerlukan pakan setara manusia menjadi pilihan yang kurang bijak dibandingkan ayam dan ternak lain yang lebih hemat dan efisien.
Perubahan gaya hidup masyarakat yang mulai mengadopsi pola hidup nomaden dan ketatnya keterbatasan sumber daya alam di wilayah gurun membuat babi tidak lagi menjadi opsi yang ideal. Lambat laun, pengaruh budaya dan agama pun menguat dan menetapkan babi sebagai hewan haram, memperkuat penolakan terhadap konsumsi babi yang telah dimulai dari alasan ekologis tersebut.
Perjalanan babi sebagai hewan ternak yang pernah berjaya di Timur Tengah hingga akhirnya diharamkan merupakan contoh nyata bagaimana faktor ekologis, sosial, dan budaya saling berinteraksi. Bukan hanya soal keyakinan, tapi juga bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang ada.
Babi yang boros air dan memakan bahan pangan yang lebih baik dikonsumsi manusia menjadi alasan utama menurunnya praktik pemeliharaan babi. Kehadiran ayam sebagai alternatif protein yang lebih efisien dan sesuai dengan gaya hidup masyarakat setempat turut mempercepat perubahan ini. Akhirnya, larangan agama yang kuat mengukuhkan posisi babi sebagai hewan yang tidak layak dikonsumsi di kawasan ini.
Dengan memahami latar belakang sejarah dan ekologis ini, kita bisa lebih menghargai bagaimana tradisi dan kepercayaan berkembang seiring dengan dinamika kebutuhan dan kondisi alam yang berubah.