Jawaban atas pertanyaan itu agaknya tergantung kepada siapa yang mengutarakannya.
Di mata pemerintah, utamanya Kementerian Kesehatan, telunjuk mereka mengarah kepada apa yang disebut sebagai “pola pikir dan budaya” masyarakat di pedalaman Asmat, selain faktor lainnya seperti pelayanan kesehatan dan sarana pendukungnya.
“Persoalannya itu klasik, dari dulu seperti itu,” kata Steven Langi, Kepala Bagian Kemasyarakatan Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, kepada kami di Kota Agats, akhir Oktober 2023 lalu.
Di sini, Steven merujuk kepada apa yang disebutnya sebagai pola pikir dan kebudayaan warga di pedalaman Asmat terkait apa yang disebutnya sebagai kesadaran tentang pentingnya aspek kesehatan ibu dan anak.
Dia memberikan contoh, seperti yang terjadi pada 2017 dan 2018 lalu, wabah campak dan gizi buruk bisa terjadi, lantaran orang tua membawa anak-anaknya untuk pangkur sagu atau berburu di hutan.Ketika anaknya sakit di hutan yang jaraknya jauh, mereka kesulitan untuk mendapatkan akses kesehatan, katanya.
Steven juga mengaku seringkali menemukan kasus saat program imunisasi digelar oleh puskesmas pembantu, misalnya, si anak tak pernah nongol untuk mendapatkan vaksin karena ikut keluarganya ke hutan.
“Pasti akan muncul ketika keluarga itu ke hutan, kemudian anaknya dibawa serta,” ujarnya.
Apa yang diutarakan Steven Langi tak jauh berbeda dengan temuan Kementerian Kesehatan yang diumumkan ke publik pada 18 Mei 2018 terkait latar belakang wabah campak dan gizi buruk di Asmat.bAda beberapa faktor yang disebut sebagai sebabnya, tetapi 40% adalah faktor lingkungan dan 30% faktor perilaku sosial budaya.
Sisanya, menurut Kemenkes, faktor pelayanan Kesehatan 20% dan genetika 10%. Mereka lantas menyontohkan wabah campak di Asmat itu lantaran cakupan imunisasi lengkap sulit dilakukan,Alasannya, anak-anak yang berusia enam bulan sudah dibawa ke hutan oleh orang tuanya.
“Sehingga sulit dijangkau petugas kesehatan,” demikian presentasi Kemenkes saat itu. Adapun kasus gizi buruk, menurut Kemenkes, dilatari pola hidup bersih dan sehat masyarakat Asmat yang disebut tergolong rendah.
Pemerintah Kabupaten Asmat dan pemerintah pusat di Jakarta bukannya tidak menyadari masalah geografi Asmat yang sulit ini, walaupun kemudian disadari pula bahwa itu membutuhkan anggaran yang tak sedikit. Tetapi alasan yang terakhir ini sepertinya tidak lagi relevan setelah wabah campak dan gizi buruk 2018 di wilayah itu membuat elite di Papua dan Jakarta dipaksa untuk mencari jalan keluarnya.