Dan saya teringat pernyataan seorang pejabat pemerintah pusat ketika wilayah di selatan Papua itu menjadi sorotan setelah wabah campak dan gizi buruk 2017-2018.
Alangkah idealnya jika ada puskesmas keliling yang dapat menjangkau kampung-kampung yang sulit, kata sang pejabat.Sebelum berangkat ke Asmat, saya sudah mendapatkan informasi bahwa pemerintah setempat mengeklaim sudah rutin menggelar puskesmas keliling ke kampung-kampung.
Tugasnya, melayani imunisasi hingga pemeriksaan dan pengobatan gratis.
“Petugas puskesmas kita rutin melaksanakan pusling,” kata Bupati Asmat, Elisa Kambu, awal pekan kedua Juli 2024. Program ini diklaim digelar dua bulan sekali.
Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan angka prevalensi balita stunting di Kabupaten Asmat mencapai 54,5%.
Angka tersebut melonjak 16,4 poin persentase dari tahun sebelumnya yang sebesar 38,1%.
Di urutan berikutnya ada Kabupaten Yahukimo dengan prevalensi balita stunting 53,3%, diikuti Kabupaten Nduga di peringkat ketiga sebesar 50,2%.
Adapun Kabupaten Deiyai memiliki prevalensi balita stunting terendah di Papua, yakni 13,4% diikuti Kabupaten Nabire dengan 17,1%.
Dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024, 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi stunting di bawah angka nasional, tiga provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Papua Tengah (39,4%), Nusa Tenggara Timur (37,9%) dan Papua Pegunungan (37,3%). Saat ini, menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Ascobat Gani, tren tengkes di Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi terjadi kesenjangan.
“Masih banyak daerah yang stuntingnya tinggi, seperti NTT dan Papua,” kata Ascobat, awal Februari 2024.
Dia menilai program penurunan tengkes sudah banyak, tetapi yang diabaikan adalah penguatan sistem.
“Bagaimana masalah stunting yang sudah masuk RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] ini bisa diterjemahkan sampai RPJM desa,” ujarnya, Supaya dari hulu sampai hilir ada komitmen.