Pandemi menyisakan trauma yang dalam. Banyak orang kehilangan pekerjaan, anggota keluarga, hingga kepercayaan diri. Belum lagi tekanan ekonomi, relasi sosial yang renggang, serta maraknya informasi negatif di media sosial memperburuk kondisi psikis masyarakat.
Gangguan mental pun tak mengenal usia. Anak-anak, remaja, hingga lansia kini menghadapi tantangan yang berbeda namun sama beratnya.
“Mental breakdown itu nyata. Tapi karena tidak berdarah dan tidak terlihat, orang menganggapnya bukan penyakit,” tambah dr. Sita.
Stigma dan Miskonsepsi Masih Tinggi
Bukan hanya kurangnya layanan, persoalan utama lainnya adalah stigma sosial. Banyak masyarakat masih menganggap gangguan mental sebagai “kurang iman” atau “masalah pribadi”, sehingga menutup diri dari bantuan profesional.
Tak sedikit pasien yang enggan datang ke psikolog karena takut dicap “gila” atau “lemah mental”.
“Kita butuh edukasi yang masif agar masyarakat paham bahwa merawat mental itu sama pentingnya dengan merawat fisik,” ujar dr. Sita.
Rekomendasi: Integrasi Layanan dan Edukasi Publik