Data juga menunjukkan bahwa Jakarta memiliki angka penderita ISPA yang lebih tinggi dibandingkan dengan Bandung dan Surabaya. Dengan mengambil data kasus ISPA pada tingkat kesehatan tingkat lanjut, terdapat perbedaan biaya pengobatan antara ketiga kota tersebut. Jakarta mencatat biaya pengobatan yang lebih tinggi untuk kasus ISPA, dengan angka rawat jalan dan rawat inap yang masing-masing dapat mencapai triliunan rupiah.
Selain itu, Ketua Tim Kerja Analisis Data Pusdatin Kementerian Kesehatan, Farida Sibuea, menekankan perlunya penelitian lebih lanjut untuk mendalami hubungan antara polusi udara dengan penyakit pernapasan. Data Kemenkes juga menunjukkan adanya peningkatan penderita ISPA pada tahun 2022 dan 2023. Hal ini menandakan bahwa polusi udara memiliki dampak serius terhadap kesehatan masyarakat dan memerlukan upaya lebih lanjut untuk pemahaman yang lebih mendalam.
Sementara itu, Budi Haryanto, Ketua RCCC-UI, mengungkapkan bahwa timnya sedang melakukan analisis literatur atas ribuan riset yang menyoroti hubungan polusi udara dengan penyakit pernapasan dari seluruh dunia. Beliau berharap temuan riset ini dapat memberikan kontribusi dalam memahami masalah penyakit pernapasan dan menghasilkan model prediksi terkait peningkatan penyakit yang disebabkan oleh polusi udara.
Selain itu, dalam lokakarya tersebut juga disampaikan bahwa Jakarta merupakan wilayah darurat untuk penanganan polusi udara. Oleh karena itu, perlu adanya intervensi yang lebih serius dalam penanganan polusi udara di Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga turut hadir dalam lokakarya tersebut, menunjukkan bahwa permasalahan polusi udara merupakan isu lintas sektor yang memerlukan kerjasama dari berbagai pihak.