Dalam hal ini, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri pernah berada dalam keadaan junub tetapi tetap melanjutkan puasa. Ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks dan bagaimana praktik-praktik yang diajarkan oleh Nabi mesti diadaptasi dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak hanya bagi suami, hukum yang sama juga berlaku bagi istri. Wanita yang telah selesai menstruasi namun belum sempat mandi wajib ketika waktu subuh tiba, diperbolehkan untuk berpuasa dan melaksanakan mandi wajib sesudahnya. Ini menunjukkan adanya kemudahan dalam beribadah di bulan Ramadan, sehingga umat Muslim tidak terhalang oleh keadaan tertentu yang bersifat teknis.
Dari sudut pandang syariat, penting untuk selalu memahami bahwa Islam adalah agama yang mengutamakan kemudahan dan keberlimpahan rahmat. Dalam banyak kasus, Hal-hal yang tampaknya rumit bisa disederhanakan oleh pemahaman yang benar dan referensi dari sumber-sumber yang terpercaya. Di sinilah berperannya tokoh-tokoh agama seperti Buya Yahya, yang menyampaikan pencerahan melalui pengetahuan dan penjelasan yang mendalam.
Bagi para umat Muslim, penting untuk mengetahui bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Mandi junub, salah satu prosedur yang harus dilakukan setelah berhubungan intim atau selesai dalam keadaan haid, menjadi simbolisasi dari kesucian saat beribadah. Meskipun demikian, keadaan ini tidak seharusnya menghalangi seseorang untuk melaksanakan ibadah puasa, asalkan memenuhi syarat-syarat yang lain.
Adanya kemudahan tersebut sangat relevan pada bulan suci Ramadan, di mana umat Muslim berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan ketakwaan melalui puasa, shalat, dan berbagai ibadah lainnya. Bentuk kasih sayang dan pengertian Allah kepada umat-Nya juga sangat tampak dalam hal ini, memperbolehkan umat-Nya untuk tetap berpuasa meskipun dalam keadaan yang mungkin dianggap sebagai kendala.