Kondisi psikologis juga berperan dalam menentukan seberapa cocok puasa intermiten untuk seseorang. Banyak orang melaporkan bahwa puasa intermiten membantu meningkatkan fokus dan produktivitas, terutama selama jam-jam berpuasa. Namun, orang yang cenderung merasa lapar atau cemas saat tidak makan bisa menemukan puasa ini sulit. Ketidaknyamanan emosional terkait makanan dapat membuat praktik puasa ini menjadi tidak menyenangkan, sehingga tidak dianjurkan untuk diterapkan.
Selain itu, ada juga pertimbangan umur dan kesehatan secara keseluruhan dalam menentukan kecocokan puasa intermiten. Remaja, wanita hamil atau menyusui, serta orang yang memiliki kondisi kesehatan seperti anoreksia, bulimia, atau gangguan kesehatan lainnya, harus sangat berhati-hati saat mempertimbangkan puasa intermiten. Yazakan faktanya, perkembangan fisik dan mental yang normal sangat bergantung pada pola makan yang konsisten dan seimbang.
Ada juga faktor budaya dan kebiasaan yang sering kali memengaruhi bagaimana orang melihat dan menjalani puasa intermiten. Dalam banyak budaya, makanan menjadi bagian penting dari interaksi sosial dan perayaan. Oleh karena itu, mengubah pola makan secara drastis dapat membuat seseorang merasa terasing atau kehilangan kebersamaan. Hal ini tentunya harus dipertimbangkan ketika seseorang mulai mempertimbangkan puasa intermiten.