Jika terdapat situasi di mana seseorang hanya dapat membaca angka pertama dari 36 gambar yang ada, hal ini berarti dia mengalami buta warna total. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anak laki-laki yang mengalami buta warna seharusnya tidak memiliki mimpi untuk menjadi dokter, ahli farmasi, ahli kimia, atau bahkan pilot. Hal ini dikarenakan kasus buta warna hanya dialami oleh anak laki-laki saja, dengan persentase sekitar 5% dari populasi.
Meskipun demikian, ada beberapa kasus di mana dokter-dokter berhasil mencapai gelar profesional mereka meskipun mereka mengalami masalah buta warna. Dalam beberapa kasus, dokter tersebut bahkan menjadi dokter spesialis anak. Hal ini terjadi akibat terjadinya kekeliruan dalam proses pemeriksaan buta warna atau karena adanya tindakan KKN yang tak bertanggung jawab. Seiring berjalannya waktu, tes buta warna kini dianjurkan untuk dilakukan secara acak guna menjamin keakuratan hasilnya.
Seorang dokter yang mengalami buta warna dan bekerja di bidang histologi, akan menghadapi kesulitan dalam menjalankan pekerjaannya sebab tugasnya mensyaratkan kemampuan untuk membaca sediaan dengan warna merah dan hijau. Meskipun dia mendeskripsikan keadaannya sebagai buta warna parsial, yang merupakan istilah kuno dalam dunia tes buta warna yang menandakan bahwa seseorang hanya mengalami kesulitan dalam melihat warna merah atau hijau, dokter pemeriksa tetap memutuskan untuk melanjutkan tes buta warna dan mengizinkannya untuk menjadi dokter.
Dalam situasi ini, dokter yang mengalami buta warna menegaskan bahwa dia membutuhkan waktu lebih lama untuk menentukan diagnosis histologi. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah keadaan ini berpotensi membahayakan pasien? Terlepas dari risiko yang ditanggung oleh dokter yang bersangkutan, risiko terbesar tetap ditanggung oleh pasien. Hal ini disebabkan kesalahan dalam diagnosis yang dapat berujung pada kondisi yang fatal bagi pasien.