Kepemimpinan de Gaulle tidak hanya terbatas pada kata-kata inspiratif. Dia juga berperan aktif dalam mengorganisir kekuatan militer Prancis Bebas dan menjalin hubungan diplomatik dengan Sekutu. Visinya untuk masa depan Prancis tercermin dalam pandangannya tentang pentingnya kedaulatan nasional dan keadilan sosial. De Gaulle percaya bahwa Prancis harus memiliki peran penting dalam tatanan dunia pasca-perang dan bekerja tanpa lelah untuk memastikan bahwa negaranya tidak dilupakan dalam pengaturan pasca-perang.
Setelah perang berakhir, de Gaulle kembali ke Prancis dan diangkat sebagai kepala pemerintahan sementara. Dia memimpin upaya untuk membangun kembali negara yang hancur akibat perang dan mendirikan Republik Keempat. Namun, ketidakstabilan politik yang terus-menerus dan tantangan internal membuat de Gaulle akhirnya mengundurkan diri pada tahun 1946.
Meskipun mengundurkan diri, de Gaulle tidak pernah benar-benar meninggalkan panggung politik. Pada tahun 1958, di tengah krisis politik yang dipicu oleh Perang Aljazair, de Gaulle dipanggil kembali untuk memimpin negara. Kali ini, dia mendirikan Republik Kelima dan menjadi presiden pertamanya. Kepemimpinannya yang tegas dan visinya yang jelas membantu menstabilkan negara dan membawa Prancis menuju era modernisasi dan kemakmuran.
Salah satu langkah paling berani yang diambil de Gaulle sebagai presiden adalah keputusan untuk mengakhiri perang di Aljazair. Dia mengakui bahwa mempertahankan Aljazair sebagai bagian dari Prancis bukan hanya tidak realistis tetapi juga tidak adil. Keputusan ini sangat kontroversial dan menghadapi banyak penentangan, tetapi de Gaulle tetap teguh pada pendiriannya dan berhasil mencapai kesepakatan yang mengakhiri perang pada tahun 1962.