Punya banyak teman di media sosial sering dianggap sebagai tolok ukur popularitas atau bahkan kebahagiaan. Daftar teman atau followers yang panjang seolah jadi harta karun. Namun, ada tren yang mulai bergeser, di mana orang-orang justru memilih untuk mengurangi lingkaran pertemanan mereka. Konsep ini, yang bisa disebut sebagai minimalisme sosial, bukan berarti anti-sosial atau jadi penyendiri, melainkan sebuah strategi sadar untuk memprioritaskan kualitas hubungan daripada kuantitas, demi menjaga kesehatan mental yang lebih baik.
Ketika Banyak Teman Justru Jadi Beban
Ironisnya, di era konektivitas tanpa batas ini, memiliki terlalu banyak "teman" kadang justru terasa melelahkan. Lingkaran sosial yang terlalu luas, baik di dunia nyata maupun maya, bisa menciptakan berbagai tekanan:
Kewajiban Sosial yang Melelahkan: Setiap teman, kenalan, atau follower mungkin punya ekspektasi. Ada undangan yang harus dihadiri, pesan yang perlu dibalas, atau komentar yang harus direspons. Kalau terlalu banyak, ini bisa jadi daftar tugas yang tak ada habisnya, menguras energi dan waktu.
Perbandingan Sosial yang Merusak: Semakin banyak orang dalam lingkaran sosial, semakin besar potensi untuk membandingkan diri dengan mereka. Melihat "teman-teman" yang selalu tampak bahagia, sukses, atau sempurna di media sosial bisa memicu rasa iri, cemas, atau tidak puas dengan diri sendiri, yang jelas-jelas merusak kesehatan mental.
Drama dan Konflik Tak Terhindarkan: Semakin banyak kepala, semakin banyak pula potensi perbedaan pendapat, kesalahpahaman, atau bahkan drama. Terjebak dalam konflik atau gosip yang tidak perlu bisa sangat menguras emosi.