Hidup di zaman sekarang yang dikuasai oleh teknologi digital menuntut masyarakat untuk beradaptasi dengan cepat dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Teknologi bukan hanya sekedar alat untuk mempermudah pekerjaan, tetapi juga membantu dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari berkomunikasi hingga memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Sayangnya, kemudahan yang ditawarkan oleh gadget ini sering kali bisa menciptakan jarak antar anggota keluarga, terutama dalam konteks hubungan yang dekat seperti dalam lingkungan keluarga.
Roslina Verauli M. Psi, seorang psikolog klinis yang berkecimpung dalam bidang anak, remaja, dan keluarga dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa keluarga pada era digital saat ini bukanlah sosok yang anti-teknologi. Sebaliknya, mereka harus mampu memanfaatkan dan mengelola teknologi dengan bijak agar tetap dapat menjaga hubungan yang sehat di dalam keluarga. Dalam beberapa kesempatan, Vera mengingatkan bahwa meskipun teknologi komunikasi digital bisa memberikan banyak kemudahan, ia juga dapat memicu permasalahan jika penggunaannya tidak dikelola dengan baik.
Salah satu masalah yang muncul berhubungan dengan penggunaan gadget adalah terganggunya interaksi langsung. Misalnya, saat satu anggota keluarga sedang berbicara, anggota keluarga lain mungkin asyik dengan gadget mereka, sehingga interaksi emosional yang seharusnya terjalin bisa terputus. Fenomena ini, yang dikenal sebagai "technoference", pertama kali diungkapkan oleh McDaniel & Coyne pada tahun 2016 dalam Journal of Child and Family Studies. Selain itu, konsep “parental phubbing” yang dideskripsikan oleh Roberts & David pada tahun 2017 juga menyoroti dampak negatif gadget pada interaksi orang tua dan anak, di mana orang tua lebih fokus pada perangkat mereka daripada berkomunikasi dengan anak-anak mereka.