Tampang.com | Fenomena kohabitasi atau "kumpul kebo", serta kelahiran anak di luar pernikahan, semakin marak di kota-kota besar Indonesia. Kohabitasi merujuk pada kondisi di mana pasangan hidup atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah.Generasi muda kini semakin memandang pernikahan sebagai institusi normatif dengan regulasi yang kompleks. Sebaliknya, kohabitasi dipandang sebagai hubungan murni yang mencerminkan cinta dan daya tarik mutualisme.
Menurut teori "Second Demographic Transition" (SDT) yang dikemukakan oleh Profesor Ron Lesthaeghe dari Belgia, pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai bentuk persatuan konvensional yang didasarkan pada norma dan nilai sosial.
Sebagai gantinya, kohabitasi menjadi bentuk baru pembentukan keluarga. Tren kohabitasi bervariasi di berbagai negara, di mana kohabitasi telah diakui secara hukum di Eropa Barat dan Utara, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru.
Di Belanda, misalnya, tingkat kohabitasi mencapai 50%, dengan durasi rata-rata lebih dari empat tahun, dan kurang dari separuh pasangan melanjutkan ke pernikahan. Belanda juga mengakui berbagai bentuk pembentukan relasi melalui Civil Solidarity Pact (Pacs) sejak 1998.
Di Asia, kohabitasi tidak diakui secara legal karena pengaruh budaya, tradisi, dan agama. Kohabitasi cenderung berlangsung singkat dan sering dianggap sebagai tahap awal menuju pernikahan.
Di Jepang, sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan rata-rata durasi sekitar dua tahun, dan sekitar 58% dari mereka melanjutkan ke jenjang pernikahan. Angka kelahiran anak di luar pernikahan di Jepang hanya sekitar 2%, terendah di antara negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).