Menciptakan Kehidupan Palsu demi Validasi
Penyebab utama seseorang menampilkan fake life seringkali adalah kebutuhan akan validasi. Di media sosial, jumlah "like", komentar positif, dan jumlah pengikut seringkali diartikan sebagai ukuran kesuksesan dan penerimaan sosial. Seseorang merasa terdorong untuk memposting hal-hal yang akan mendapatkan respons positif, bahkan jika itu tidak sepenuhnya jujur.
Mereka mungkin memotret kopi mahal yang sebenarnya dibeli hanya untuk difoto, berpose di depan mobil mewah yang bukan miliknya, atau memanipulasi cerita agar terdengar lebih dramatis dan inspiratif. Tujuannya adalah untuk membangun citra diri yang diinginkan dan mendapatkan pengakuan dari komunitas online. Ironisnya, semakin banyak validasi yang dicari dari luar, semakin jauh seseorang dari penerimaan diri yang sejati.
Mengaburkan Batas antara Realita dan Fiksi
Fenomena fake life juga mengaburkan batas antara realita dan fiksi. Media sosial seharusnya menjadi alat untuk berbagi, tapi kini menjadi panggung tempat kita menampilkan pertunjukan. Seseorang mungkin menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan foto sempurna, menggunakan filter dan editing yang berlebihan, hanya untuk mendapatkan beberapa pujian. Ini menciptakan lingkungan di mana kejujuran menjadi barang langka.