Dalam era digital yang semakin maju, tekanan estetika menjadi salah satu fenomena yang kian berkembang, terutama di kalangan pengguna media sosial. Istilah "Aesthetic Pressure" merujuk pada keharusan untuk memenuhi standar visual yang sering kali tidak realistis, yang ditetapkan oleh berbagai platform media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Pinterest. Sebuah foto atau video yang dibagikan di platform-platform ini tidak hanya berfungsi sebagai pengingat momen, tetapi juga sebagai alat pencitraan yang mencerminkan identitas dan status sosial seseorang.
Tekanan estetika ini bisa sangat merugikan, terutama bagi para generasi muda yang tumbuh dengan pemahaman bahwa penampilan fisik dan keindahan visual adalah segalanya. Media sosial menawarkan sebuah dunia di mana kebahagiaan sering kali diwakili oleh gambar-gambar sempurna yang dihiasi dengan filter dan pengeditan digital. Ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan kesuksesan secara langsung berkaitan dengan cara seseorang tampil di dunia maya. Kecenderungan ini dapat mengarah pada perasaan cemas, rendah diri, dan bahkan depresi ketika individu merasa bahwa mereka tidak dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan.
Salah satu dampak besar dari tekanan estetika di media sosial adalah pergeseran dalam cara kita melihat diri kita sendiri. Banyak orang menghabiskan berjam-jam untuk merancang tampilan mereka, memikirkan pose yang tepat, dan mencari filter ideal untuk foto mereka. Pencitraan menjadi kunci utama dalam kehidupan hari ini; orang cenderung lebih menilai kualitas hidup seseorang berdasarkan konten visual yang mereka sajikan. Akibatnya, momen-momen berharga terkadang lebih diprioritaskan untuk keperluan konten daripada kepuasan emosional sesungguhnya.