Kekhawatiran lain muncul terkait beban utang jatuh tempo. Ekonom Senior INDEF, Aviliani, mempertanyakan kapasitas pemerintah dalam melunasi utang-utang tersebut. Profil utang jatuh tempo menunjukkan angka yang substansial. Tercatat Rp 833,96 triliun akan jatuh tempo pada 2026, Rp 821,60 triliun pada 2027, dan Rp 794,42 triliun pada 2028.
Angka-angka ini menunjukkan tekanan finansial yang berkelanjutan. Beban utang baru bahkan diprediksi baru akan turun di bawah Rp 500 triliun setelah tahun 2033. Situasi ini tentu menuntut strategi pengelolaan yang sangat hati-hati. Kita perlu memastikan kemampuan negara membayar kewajiban tanpa mengorbankan program-program esensial lainnya.
Respons Pemerintah: Mengelola Utang dengan Cermat dan Strategis
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan pandangannya. Beliau menegaskan bahwa pengelolaan utang pemerintah dilakukan sesuai standar. Menurutnya, kondisi utang Indonesia masih dalam batas aman. Utang juga dipandang sebagai strategi penting untuk pembangunan ekonomi.
Purbaya menjelaskan bahwa rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih aman. Rasio ini berada di angka 39,86% terhadap PDB. Angka ini jauh di bawah batas aman yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 60%. Ini menunjukkan bahwa kapasitas ekonomi kita masih mampu menopang beban utang.
Jika dibandingkan dengan negara maju, rasio utang Indonesia juga jauh lebih rendah. Misalnya, negara-negara Eropa memiliki rasio sekitar 100% terhadap PDB. Amerika Serikat bahkan melampaui 100%, dan Jepang mencapai 275%. Perbandingan ini memberi gambaran bahwa posisi Indonesia relatif lebih baik. Kita masih memiliki ruang fiskal yang lebih leluasa.