BUMI juga aktif melakukan akuisisi aset bauksit di Indonesia, yang akan diikuti dengan pembangunan pabrik pengolahan alumina. Proses akuisisi ini diperkirakan rampung tahun ini dan kini sedang dalam tahap due diligence. Pabrik pengolahan alumina ini diprediksi bakal beroperasi sekitar pertengahan tahun 2028, dengan produksi bauksit awal diproyeksikan mencapai 1 juta ton per tahun dan meningkat menjadi 3 juta ton per tahun setelah pabrik selesai dibangun. Total biaya modal untuk proyek ini diperkirakan mencapai sekitar US$ 1,5 miliar.
Yoga mengungkapkan keyakinan bahwa dua langkah akuisisi ini dapat meningkatkan profitabilitas BUMI dan mendorong perbaikan kinerja keuangan. Dia juga merekomendasikan beli saham BUMI dengan target harga di angka Rp 160 per saham, menggunakan metode Discounted Cash Flow (DCF) dengan asumsi WACC sebesar 11,2%. Menurut Yoga, saat ini BUMI tengah berada dalam fase transformasi jangka panjang, dengan fokus strategi diversifikasi bisnis ke sektor-sektor di luar batu bara termal.
Meskipun demikian, BUMI tetap berkomitmen untuk menjaga kestabilan produksi dari dua tambang utamanya, yakni Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin Indonesia (AI). Sucor Sekuritas mengamati bahwa strategi ini dapat menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan jangka panjang dan ketahanan operasional dalam jangka pendek.
Dengan rencana ambisius untuk menghasilkan 50% dari EBITDA-nya dari segmen non-batu bara pada tahun 2030, didukung oleh potensi akuisisi di sektor emas dan alumina serta pengembangan gasifikasi batu bara dan tembaga, langkah tersebut mencerminkan janji masa depan yang diharapkan bagi perusahaan.
Dari segi prasyarat produksi, Sucor Sekuritas menilai BUMI masih merupakan produsen batu bara terbesar di Indonesia, dengan proyeksi produksi stabil sebesar 80 juta ton per tahun. Didukung oleh cadangan yang mencapai 940 juta ton dan sumber daya sebesar 4,5 miliar ton, KPC dan Arutmin diprediksi dapat mempertahankan tingkat produksi gabungan antara 79 hingga 81 juta ton dalam tiga tahun ke depan.