Pemerintah didesak mencabut aturan yang membuka lebar keran ekspor pasir laut karena kerusakan akibat pengerukan dalam jumlah besar bisa permanen di masa mendatang, kata pakar kelautan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rignolda Djamaludin.
Kerusakannya pun bisa beragam, tambah Rignola. Mulai dari kerusakan habitat organisme laut, abrasi di wilayah pesisir, hilangnya pulau-pulau kecil, hingga lenyapnya mata pencaharian nelayan.
Salah satu keluarga nelayan di Jepara, Jawa Tengah, yang sudah merasakan dampak pengerukan pasir laut mengaku hasil tangkapan nelayan berkurang drastis. Banyak keluarga nelayan akhirnya terjerat hutang demi menyambung hidup.
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir. Meskipun diakuinya, saat ini terdapat 66 perusahaan yang sudah dilakukan verifikasi dan evaluasi untuk mengelola hasil sedimentasi laut.
Tri Ismiyati menghela nafas panjang kala menceritakan nasib ratusan keluarga nelayan di Desa Bandungharjo, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Pasalnya saban malam melaut, beberapa nelayan termasuk suaminya kadang pulang dengan tangan kosong. Kalaupun ada yang mendapatkan hasil laut, jumlahnya cuma lima kilogram.
"Itu pun dapatnya lama sekali," ucap Tri Ismiyati.
"Dan dalam sebulan paling hanya dua atau tiga kali saja, selebihnya ya enggak dapat apa-apa," sambungnya.
Ibu tiga anak ini bercerita kondisi tersebut terjadi sejak kapal isap pasir laut beroperasi di wilayah pesisir pada Maret tahun lalu. Setiap malam selama sebulan, kapal itu mengambil pasir laut.
Para nelayan yang curiga, kata Tri Ismiyati, sempat mendatangi kapal isap tersebut dan menanyakan keperluan mereka. Awak kapal, menurut Tri, memaparkan bahwa mereka mengaku sedang mengambil sampel tanpa menjelaskan untuk kebutuhan apa dan milik perusahaan siapa.
Akibat operasional kapal isap, air laut berubah jadi keruh berwarna kecoklatan. Sejak saat itu hingga sekarang, hasil tangkapan nelayan turun drastis. Kalau dulu nelayan bisa membawa pulang ikan hingga lima kuintal, kini dapat lima kilogram saja sudah susah payah.
"Sekarang sebulan, kadang dapat hasil cuma dua atau tiga kali. Ikan pun nggak mudah didapat padahal melaut sebulan tiap hari. Modal Rp300.000 nggak bawa apa-apa, untuk lauk aja nggak ada."
"Laut makin susah diprediksi, biasanya panen udang atau ikan, sekarang enggak ada. Panen ikan sudah seperti mimpi."
Gara-gara hasil tangkapan yang tak menentu, beberapa nelayan menyerah dan mencari pekerjaan lain. Entah bekerja di pabrik, menjadi buruh migran, atau mencari peruntungan ke kota lain. Tapi suami Tri Ismiyati tak menyerah. Suaminya dan anak tertuanya masih berharap dari hasil melaut.
"Nelayan itu kalau nggak melaut, nggak bisa melakukan pekerjaan lain. Cuma bisa betulin alat-alat melaut kayak jaring atau benerin kapal."
Dan kini dengan adanya keputusan pemerintah yang membolehkan pengerukan pasir laut secara besar-besaran bahkan untuk ekspor, perempuan 43 tahun ini mengaku sedih. Ia terang-terangan menyatakan menolak.
"Ya menolak pasti, ini belum dikeruk aja begini, apalagi kalau diobrak-abrik? Terus gimana nasib nelayan seperti kami?"
Pemerintah resmi membuka keran ekspor pasir laut setelah selama 20 tahun melarang. Hal itu berlaku dengan keluarnya Permendag nomor 20 tahun 2024 tentang barang yang dilarang untuk diekspor dan Permendag nomor 21 tahun 2024 tentang kebijakan dan pengaturan ekspor.
Pembukaan ekspor pasir laut lewat Kemendag merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2023 tentang hasil pengelolaan sedimentasi di laut serta tindak lanjut dari usulan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Asisten Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, Doni Ismanto, mengatakan ekspor pasir laut hanya dilakukan dengan syarat kebutuhan material di dalam negeri sudah tercukupi dan tidak menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir. Karenanya dia meminta agar "pembersihan sedimentasi laut" jangan diframing sebagai kawasan pengambilan pasir. Apalagi, sebutnya, diasosiasikan dengan aktivitas ekspor pasir laut.