Terkait volume pembersihan hasil sedimentasi di laut dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut yang bisa dikeruk paling sedikit 50 juta meter kubik. Adapun Izin Pemanfaatan Pasir Laut berlaku selama tiga tahun sejak diterbitkan dan tidak dapat diperpanjang.
Pakar kelautan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Rignolda Djamaludin, menyatakan argumentasi pemerintah membuka keran ekspor pasir laut karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus mengatasi masalah sedimentasi tidak cukup beralasan.
Sebab, menurutnya, sampai saat ini pemerintah tak membeberkan dengan terang benderang seberapa besar kebutuhan pasir laut di dalam negeri dan tingkat keparahan sedimentasi yang terjadi di pesisir Indonesia. Termasuk kajian jika sedimentasi berupa pasir laut dikeruk secara masif.
Mayoritas penelitian justru menunjukkan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan semakin tinggi jika dilakukan pengerukan pasir laut.
"Studi di Indonesia justru menunjukkan kerentanan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berada dalam skala sedang dan tinggi. Artinya kalau [pengerukan secara besar-besaran] dilakukan, kerentanan itu bisa bertambah buruk," jelas Rignolda.
Kerentanan yang dimaksud Rignola di antaranya abrasi atau pengikisan tanah di daerah pesisir pantai. Pasalnya ketika sedimentasi yang terakumulasi di suatu wilayah pesisir dikeruk, maka terjadi ketidakstabilan. Untuk menutupi kekosongan itu, menurutnya, arus laut akan menggerus material dari tempat lain. Contoh nyata dari dampak pengerukan pasir laut terjadi di Pulau Nipa, Batam yang tenggelam karena abrasi pada 2002.
"Lalu bagaimana jika yang terambil itu adalah wilayah yang berisiko terabrasi? Ini kan menambah kerentanan."
"Kalau begitu gimana bisa dikatakan aman mengeruk pasir laut? Makanya dulu muncul regulasi yang melarang pengambilan pasir."
Persoalan lain, kata Rignolda, secara global perairan Indonesia termasuk yang mengalami proses kenaikan air laut. Jika pemerintah malah mengeruk sedimentasi di laut, menurut Rignolda, sama saja menambah risiko erosi pantai, banjir bandang, hingga terendamnya pesisir serta pulau-pulau kecil.
Begitu juga dengan ekosistem laut yang disebut Rignolda akan berakibat fatal. Ketika pasir laut disedot dalam jumlah banyak, maka terumbu karang yang ada di sana akan mati dan ikan-ikan pun akan mencari habitat baru, paparnya. Itu mengapa, dia menilai keputusan pemerintah mengizinkan pengerukan pasir laut dengan dalih membersihkan sedimentasi di laut hanya "pembenaran semata".
Ujung-ujungnya, kata Rignola, pemerintah hanya mencari keuntungan ekonomi. Sebab dari ekspor pasir laut para pengusaha harus menyetor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 5% dari nilai volume sedimen yang akan dimanfaatkan.
"Alasan membersihkan sedimentasi hanya dibuat-buat. Karena tidak ada kajian apakah selama 20 tahun terjadi peningkatan sedimentasi?"
"Bagaimana kalau sedimentasi itu fluktuatif? Pada waktu lain tidak seperti itu, bahkan berkurang."
"Makanya saya minta dikaji baik-baik, laut masa depan kita, mestinya dari sekarang kita persiapkan dengan baik bukan dibuat rentan dan tidak bernilai di masa depan."