Ekonomi Selandia Baru mengalami penurunan pada kuartal kedua (Q 2) 2024, menjadi pemberitaan ganjil bagi negara maju tersebut. Data resmi yang dirilis pada Kamis (19/9/2024) menunjukkan angka kontraksi ekonomi sebesar 0,2% per kuartal pada periode April-Juni. Angka ini mengikuti pertumbuhan ekonomi yang lesu pada kuartal sebelumnya, Q1 2024, yang hanya mencapai 0,1%.
Badan statistik Selandia Baru, StatsNZ, mencatat bahwa semua sektor ekonomi terpengaruh oleh penurunan tersebut. Sektor perdagangan eceran dan akomodasi mengalami penurunan sebesar 1,3% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang stagnan. Begitu pula sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang turun sebesar 1,4%. Meskipun demikian, terdapat tujuh dari 16 industri yang berhasil mencatat pertumbuhan, dengan sektor manufaktur menjadi yang terbesar, tumbuh sebesar 1,9% dibandingkan periode sebelumnya yang mencatat penurunan sebesar 1,4%.
Hal ini menjadi perhatian serius karena resesi biasanya diidentifikasi dengan adanya kontraksi ekonomi selama dua kuartal berturut-turut. Meskipun demikian, para analis memperkirakan bahwa Selandia Baru mengalami resesi yang sedikit berbeda, dengan ekonomi yang sudah berkontraksi dalam tiga dari lima kuartal terakhir.
Jarrod Kerr, kepala ekonom Kiwibank, menyatakan bahwa negara tersebut sudah mengalami penurunan ekonomi sebanyak tiga kali, dan hal ini menunjukkan bahwa Selandia Baru secara tidak langsung telah berada dalam resesi yang sudah berlangsung selama dua tahun. Namun, ada juga pandangan bahwa laporan PDB yang digunakan untuk mengukur kontraksi ekonomi sudah tidak lagi relevan. Menteri Keuangan Nicola Willis bahkan menyalahkan Bank Sentral Selandia Baru yang tetap mempertahankan suku bunga tinggi untuk mengatasi inflasi, yang dianggap telah membebani pertumbuhan ekonomi.