Malaysia telah menjadi incaran banyak perusahaan teknologi asing untuk berinvestasi dalam pendirian pusat data. Di sisi lain, Indonesia, dengan populasi yang besar, harus menerima takdirnya hanya sebagai pasar konsumen.
Salah satu alasan besar mengapa perusahaan teknologi asing berani melakukan investasi besar di Malaysia adalah karena banyak insentif yang diberikan oleh pemerintah setempat kepada para pelaku data center.
Hendra Suryakusuma, Ketua Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO), mengungkapkan bahwa bahkan perusahaan yang menggunakan teknologi ramah lingkungan juga akan mendapatkan insentif tambahan di Malaysia. Dia menambahkan, "Di Indonesia, hal ini belum terwujud, namun jika pemerintah melalui RUU Energi Baru Terbarukan yang saat ini sedang dalam pembahasan di Komisi VII DPR RI berhasil memberikan insentif tambahan melalui inisiatif ramah lingkungan, hal ini akan sangat mendorong pertumbuhan industri pusat data di Indonesia yang saat ini tumbuh sebesar 20-30 persen setiap tahunnya."
Dalam wawancara dengan CNBC Indonesia, Hendra menjelaskan bahwa Malaysia juga telah melakukan upaya untuk memangkas birokrasi yang akan mempermudah investasi bisnis di negaranya. Di Malaysia, perusahaan asing hanya perlu menggunakan desain tingkat tinggi (high level design) untuk mendapatkan izin membangun. Sementara di Indonesia, perusahaan harus menyajikan rancangan teknik yang lebih rinci, yang berarti membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Tidak hanya itu, jika Indonesia juga lebih berfokus pada energi terbarukan, banyak perusahaan dari Amerika Utara dan Eropa Barat yang bersedia melakukan kerja sama dalam menyusun pusat data. Negara-negara tersebut memiliki fokus pada ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) dan telah berkomitmen pada Perjanjian Paris. Oleh karena itu, aspek-aspek yang terkait dengan energi terbarukan mampu mendorong pertumbuhan industri pusat data.