"Pergerakan di sektor riil dan keuangan menunjukkan bahwa adanya kekhawatiran terhadap perluasan defisit APBN. Seharusnya, hal tersebut dapat disambut baik karena berpotensi memacu pertumbuhan ekonomi. Namun, kenyataannya investor justru menarik diri dan menahan investasinya," ungkap Eko.
Dalam melaksanakan risetnya, Continuum Indef menggunakan data dari media sosial X dan melakukan riset selama 15 hari, mulai dari 15 Juni hingga 1 Juli 2024. Indef kemudian menganalisis 22 ribu percakapan dari 18 ribu akun yang membahas kondisi utang negara. Indef menemukan sebanyak 218 ribu kata kunci yang terkait dengan perbincangan mengenai utang.
Adapun pada Mei 2024, utang pemerintah mencapai Rp 8.353,02 triliun, mengalami kenaikan sebesar 0,17% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat Rp 8.338,43 triliun. Dengan posisi utang per 31 Mei 2024, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 38,71%. Rasio utang tersebut mengalami kenaikan dari catatan sebelumnya per 30 April 2024 yang sebesar 38,64%.
Ketika menjabat, Prabowo dihadapkan pada utang jatuh tempo antara tahun 2025 hingga 2029 yang mencapai Rp 3.748,24 triliun. Jumlah ini terdiri dari sebesar Rp 800,33 triliun pada 2025, Rp 803,19 triliun pada 2026, Rp 802,61 triliun pada 2027, Rp 719,81 triliun pada 2028, dan Rp 622,3 triliun pada tahun terakhirnya.
Data-data yang diberikan oleh Indef menunjukkan bahwa permasalahan utang negara merupakan salah satu isu yang mendapat perhatian serius dari masyarakat. Tingginya tingkat keraguan terhadap kemampuan Prabowo-Gibran dalam menangani masalah utang tersebut juga menandakan bahwa publik mempertanyakan rencana strategis yang akan dijalankan oleh pemerintahan yang baru saja terbentuk. Besaran utang yang harus dihadapi di masa mendatang juga menjadi poin penting yang menarik perhatian, karena hal ini akan mempengaruhi kebijakan ekonomi dan keuangan negara ke depannya.