Salah satu emiten tekstil yang nyaris bangkrut adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL). Sritex mulai karam tertimbun utang, padahal Sritex merupakan perusahaan yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun dan sempat berjaya karena kualitas produknya.
Sritex memiliki masalah kesehatan keuangan akibat utang yang menggunung. Pada semester I 2023, Sritex menanggung defisit modal atau ekuitas negatif karena jumlah liabilitas yang lebih besar dari aset. Ini berarti kondisi Sritex di ambang kebangkrutan sebab jumlah jika hutang jatuh tempo tidak bisa dibayar, bahkan ketika menjual aset pun tidak mampu menutupi semua hutang.
Jumlah liabilitas Sritex adalah sebesar US$1,57 miliar atau Rp23,8 triliun (kurs=Rp15.200/US$). Sementara jumlah aset Sritex hanya US$707,43 juta atau Rp10,75 triliun, sedangkan defisit modal sebesar US$707,46 juta atau sekitar Rp 10,7 triliun.
Sritex menanggung utang jangka panjang yang besar, terutama dari bank dan penerbitan obligasi. Nilainya bahkan jauh lebih besar dari total aset SRIL.
Dampak pada Sektor Garmen dan Industri Tekstil
Di industri tekstil, pelemahan rupiah telah menyebabkan beberapa perusahaan garmen gulung tikar. Pabrik tekstil, garmen, dan alas kaki di Indonesia terpaksa menghentikan operasionalnya. Permintaan yang sepi dan tingginya beban operasional menjadi penyebab bangkrutnya sejumlah perusahaan garmen. Misalnya, pabrik garmen PT Cahaya Timur Garment di Pemalang, Jawa Tengah, dan PT Sepatu Bata Tbk (BATA) di Purwakarta, Jawa Barat, menutup operasionalnya.
Perusahaan di industri tekstil yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga menghadapi berbagai masalah, dengan beberapa di antaranya nyaris bangkrut. Gelombang PHK tak terelakkan lagi di sektor ini.