Menindaklanjuti unggahan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC Kemenkeu) memberikan penjelasan terkait kasus ini. Menurut DJBC, besaran bea masuk sebesar Rp 31,81 juta memiliki dasar perhitungan yang melibatkan denda administrasi atas kesalahan penetapan nilai pabean atau Cost, Insurance, and Freight (CIF) yang dilakukan oleh importir atau jasa kiriman, dalam hal ini adalah perusahaan pengiriman DHL.
Diketahui bahwa nilai CIF yang awalnya dilaporkan oleh DHL adalah 35,37 dolar AS atau setara dengan Rp 562.736. Namun, setelah dilakukan pemeriksaan, nilai CIF sebenarnya adalah 553,61 dolar AS atau sekitar Rp 8,81 juta. Dengan adanya ketidaksesuaian ini, DHL dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Besaran pajak yang harus dibayarkan Radhika terdiri dari bea masuk sebesar 30 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11 persen, Pajak Penghasilan (PPh) impor sebesar 20 persen, dan tambahan sanksi administrasi sebesar Rp 24,74 juta. Total tagihan yang harus dibayarkan mencapai Rp 30,93 juta, sebuah angka yang jauh lebih tinggi dari harga asli barang yang dibeli.
Selain kasus yang menimpa Radhika, kasus serupa juga pernah dialami oleh Mira Hayati saat membeli emas seberat 1 kilogram di luar negeri. Saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Mira juga dikenai pajak yang sangat tinggi oleh Bea Cukai. Meski kemudian Mira membantah akan adanya negosiasi atau tawar-menawar terkait jumlah pajak yang harus dibayarkan, kasus ini juga menjadi sorotan dan menimbulkan keresahan di masyarakat.