Melihat mayat di Gunung Everest, menurut Arnette, sama halnya dengan menyaksikan kecelakaan mobil yang mengerikan. “Tubuh mereka akan membeku di gunung,” ungkapnya, memberikan gambaran betapa keras dan dinginnya kondisi di puncak dunia. Mungkin terdengar mengerikan, namun inilah kenyataan yang harus dihadapi oleh para pendaki.
Mengembalikan jenazah dari Everest bukanlah hal yang sederhana. Laporan dari Business Insider mengungkapkan bahwa biaya untuk mengevakuasi mayat dapat mencapai puluhan ribu dolar, bahkan dalam beberapa kasus mencapai sekitar US$70.000, yang setara dengan lebih dari Rp1 miliar. Bukan hanya biaya yang menjadi kendala, tetapi juga risiko besar yang dihadapi selama proses evakuasi. Misalnya, dua pendaki asal Nepal tewas pada tahun 1984 ketika mereka mencoba mengambil jenazah dari Everest.
Data dari BBC menunjuk pada penyebab kematian yang umum seperti longsor dan terjatuh. Hal ini menjelaskan mengapa upaya pengambilan jenazah di gunung sangat berbahaya. Kondisi cuaca yang ekstrem dan medan yang sulit seringkali menghalangi tim pencari untuk berhasil membawa pulang jenazah dengan aman. Situasi ini pun membuat banyak jenazah akhirnya dibiarkan tergeletak di sana.
Kondisi Gunung Everest yang keras dan berbahaya menghadirkan dilema etika yang kompleks. Sementara keluarga mungkin ingin menguburkan orang terkasih mereka dengan layak, kenyataannya banyak pendaki yang tewas di daerah berbahaya dan di lokasi yang sulit diakses. Dengan jumlah pendaki yang terus meningkat setiap tahun, Gunung Everest semakin menjadi tempat yang memprihatinkan bagi para pendaki. Kematian di gunung ini bukan hanya menjadi berita di media, tetapi juga menyisakan pertanyaan tentang etika, tanggung jawab, dan batasan manusia dalam mengejar mimpi.