Gunung Everest, yang menjulang setinggi 8.848 meter, adalah puncak tertinggi di dunia dan menjadi impian bagi banyak pendaki dari berbagai penjuru dunia. Terletak di perbatasan antara Nepal dan Tibet, Everest bukan sekadar tantangan fisik, melainkan juga mental.
Pendaki sering kali memerlukan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk mempersiapkan diri sebelum menghadapi delapan ribu meter lebih ke atas permukaan laut. Meskipun telah melakukan persiapan matang, keberhasilan mencapai puncak tetaplah sangat tidak pasti.
Hai ini menjadi alasan mengapa Gunung Everest menjadi lokasi yang penuh risiko, di mana lebih dari 335 orang telah kehilangan nyawa mereka hingga Desember 2024. Angka ini mencakup mereka yang ketika berusaha mencapai puncak maupun saat perjalanan turun dari gunung.
Data menunjukkan bahwa sekitar 1% dari semua pendaki mengalami kematian selama pendakian. Penyebab utama kematian tersebut umumnya adalah penyakit ketinggian akut, yang ditandai dengan gejala seperti kepala pusing, muntah, dan nyeri kepala yang hebat. Namun, berbagai faktor, seperti pengalaman pendaki, rute yang diambil, dan kondisi cuaca, juga berperan besar dalam tingkat risiko tersebut.
Keberadaan mayat di Gunung Everest menciptakan pandangan yang kelam tentang pendakian. Alan Arnette, seorang pelatih pendaki gunung yang berhasil mencapai puncak Everest pada tahun 2014, menjelaskan bahwa ketika seorang pendaki mengalami luka parah atau meninggal di gunung, sering kali rekan-rekannya terpaksa meninggalkan mereka jika tidak bisa menyelamatkan. Ini menjadi hal yang lumrah dalam situasi ekstrem yang dihadapi oleh para pendaki di ketinggian tersebut.