Shinto tidak memiliki pendiri tunggal atau kitab suci yang terpusat seperti agama-agama Abrahamik. Sebaliknya, ia adalah serangkaian praktik, ritual, dan kepercayaan yang telah berkembang secara organik seiring waktu, beradaptasi dengan kehidupan masyarakat Jepang.
Kuil Shinto (Jinja): Pintu Gerbang Menuju Kami
Kuil-kuil Shinto, atau Jinja (), adalah tempat-tempat suci yang didedikasikan untuk menghormati Kami. Setiap Jinja memiliki ciri khasnya:
Torii: Gerbang tradisional berwarna merah yang menandai pintu masuk ke area suci kuil. Melewati torii adalah tindakan simbolis memasuki alam yang berbeda, dari dunia profan ke dunia sakral.
Honden: Bangunan utama kuil tempat Kami diyakini bersemayam atau diwakili oleh sebuah objek suci (shintai).
Tempat Pemandian: Seringkali ada tempat pemandian kecil di dekat pintu masuk untuk membersihkan tangan dan mulut (temizuya atau chozuya) sebelum mendekati area suci, sebagai bentuk pemurnian.
Ritual di Jinja melibatkan persembahan (makanan, sake, koin), doa, dan tarian sakral (kagura). Tujuannya adalah untuk berkomunikasi dengan Kami, memohon berkah, atau menunjukkan rasa syukur.
Shinto dalam Kehidupan Sehari-hari dan Filosofi
Pengaruh Shinto meresap ke dalam budaya Jepang sehari-hari:
Perayaan Musiman: Banyak festival tradisional Jepang (matsuri) berakar pada ritual Shinto untuk merayakan panen, memohon perlindungan, atau menghormati Kami tertentu.
Kehidupan Berkelanjutan: Rasa hormat terhadap Kami di alam seringkali mendorong praktik yang berkelanjutan dan apresiasi terhadap keindahan alam.
Kemurnian dan Kebersihan: Konsep kegare (kekotoran spiritual) dan harai (pemurnian) sangat penting dalam Shinto. Ini tidak hanya merujuk pada kebersihan fisik tetapi juga kebersihan moral dan spiritual.
Saling Ketergantungan: Shinto menumbuhkan rasa saling ketergantungan antara manusia, alam, dan Kami. Manusia adalah bagian dari alam dan memiliki peran untuk menjaga keseimbangan.