Produsen rokok konvensional dan elektronik pun disebut wajib mencantumkan sejumlah informasi di kemasan, termasuk bahwa produk terkait mengandung nikotin yang sangat adiktif serta ia tidak boleh dijual kepada orang berusia di bawah 21 tahun dan perempuan hamil.
Spesifik untuk rokok konvensional, akan ada pula pernyataan “tidak ada batas aman” dalam mengonsumsinya dan bahwa ia mengandung 7000+ zat kimia berbahaya serta 83+ zat penyebab kanker.
Di luar itu, RPMK ini melarang penggunaan keterangan atau kata-kata yang menyesatkan, termasuk yang menciptakan kesan keliru bahwa produk rokok tertentu memberi manfaat untuk kesehatan.
“Pada setiap kemasan produk tembakau dan rokok elektronik dilarang mencantumkan kata ‘light’, ‘ultra light’, ‘mild’, ‘extra mild’, ‘low tar’, ‘slim’, ‘special’, ‘full flavor’, ‘premium’, atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, atau kata-kata dengan arti yang sama,” seperti tertulis di RPMK itu.
Beladenta Amalia, peneliti sekaligus project lead untuk pengendalian tembakau di Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), mengatakan kemasan rokok memang kerap menyesatkan konsumen, entah melalui penggunaan kata-kata atau gambar tertentu.
Sejumlah produk rokok, misalnya, dipromosikan memiliki cita rasa buah tertentu seperti mangga dan nanas, dan bahkan menampilkan gambar buah terkait di kemasannya.
“Jadinya misleading,” kata Beladenta.
“Kita tidak ingin konsumen berpikir bahwa ada merek rokok yang lebih aman, lebih sehat, lebih enak, atau lebih menarik, terutama bagi kalangan muda.”
Rencana standardisasi kemasan rokok yang diatur dalam RPMK ini melengkapi sejumlah pengetatan terkait penjualan rokok yang sebelumnya tertuang dalam PP No. 28/2024.
PP tersebut melarang penjualan rokok secara eceran, kecuali untuk cerutu dan rokok elektronik. Penjual rokok konvensional dan elektronik pun tidak boleh menempatkan produknya “pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui”, serta dilarang berjualan dalam radius 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak. Lebih lanjut, rokok konvensional dan elektronik tidak boleh dijual di situs web, aplikasi elektronik komersial, dan media sosial.
Namun, larangan untuk situs web dan aplikasi dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.Seperti tertulis di PP dan RPMK, segala kebijakan “pengamanan” terkait rokok tersebut bertujuan menurunkan prevalensi perokok, mencegah bertambahnya perokok pemula, serta menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat merokok.
Merujuk data Global Adult Tobacco Survey (GATS), jumlah orang dewasa Indonesia yang mengonsumsi tembakau utamanya dengan merokok meningkat dari 61,4 juta orang pada 2011 menjadi 70,2 juta pada 2021. Temuan ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah India dan China.
Sementara itu, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dijalankan Kementerian Kesehatan menunjukkan ada sekitar 70 juta perokok aktif di Indonesia per 2023.
Perokok aktif terbanyak disebut berasal dari kelompok usia 15-19 tahun dengan proporsi 56,5%. Sementara itu, yang kedua terbesar adalah kelompok usia 10-14 tahun dengan persentase 18,4%.
Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, menekankan ada kenaikan jumlah perokok anak baru dalam beberapa tahun terakhir. Di kelompok usia 13-15 tahun, prevalensinya meningkat dari 18,3% pada 2016 menjadi 19,2% pada 2019, merujuk data terakhir Global Youth Tobacco Survey (GYTS).
Tak hanya rokok konvensional, rokok elektronik pun belakangan disebut berhasil membuat anak-anak dan remaja kecanduan. Data GATS menunjukkan prevalensi pengguna rokok elektronik naik 10 kali lipat dari 0,3% pada 2019 menjadi 3% pada 2021.
Karena itu, kata Siti, pemerintah berusaha menerapkan kebijakan yang tepat untuk mencegah bertambahnya jumlah perokok konvensional dan elektronik, terutama dari kelompok anak-anak dan remaja.
“Jadi kita tidak menghalangi orang dewasa merokok, tapi merokok diatur tempatnya dan juga dilakukan standardisasi kemasan,” kata Siti.
“Yang kita cegah adalah bertambahnya perokok pada anak-anak dan remaja.”
Tak lama setelah Kementerian Kesehatan mengadakan sesi dengar pendapat umum di awal September untuk RPMK yang mengatur standardisasi kemasan rokok, reaksi keras muncul dari berbagai pihak, termasuk serikat pekerja dan asosiasi produsen rokok, kementerian lain, dan juga ekonom.
Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) di Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang kini menaungi lebih dari 151.000 pekerja di industri rokok, dengan tegas menolak apa yang disebut sebagai “aturan-aturan ekstrem” dalam RPMK tersebut.
Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan saat sesi dengar pendapat umum Kementerian Kesehatan, perwakilan FSP RTMM mengatakan RPMK tersebut “tidak mempertimbangkan kepentingan tenaga kerja”.
Dihubungi terpisah, Waljid Budi Lestarianto selaku ketua FSP RTMM Daerah Istimewa Yogyakarta mengatakan segala pembatasan pemerintah terhadap industri rokok bakal membawa efek domino yang ujung-ujungnya mengorbankan pekerja.
Ia bilang, saat penjualan rokok menurun, produksi pun turun sehingga muncul risiko PHK bagi para pekerja.
“Yang mengecewakan buat kami sebenarnya kan yang legal ini kok pengaturannya jadi luar biasa seperti ini, tapi kemudian yang ilegal justru terkesan kayak ada pembiaran. Jadi, penegakan hukumnya itu masih setengah-setengah,” kata Waljid.
“Maka kami khawatir justru nanti penurunan tingkat konsumsi merokok ini bukan karena orang berhenti merokok, tapi konsumsinya berganti kepada yang ilegal.”
Benny Wachjudi, ketua umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), pun mengatakan “tidak setuju sama sekali” dengan rencana standardisasi kemasan rokok.
Senada dengan Waljid, Benny bilang kebijakan ini akan memicu maraknya peredaran rokok ilegal.