“Sekarang saja rokok ilegal banyak yang kemasannya dimirip-miripkan dengan rokok yang legal, walaupun itu masih ada pembedanya yang jelas,” kata Benny.
“Nanti kalau sudah seragam kan sudah enggak kelihatan lagi bedanya. Yang legal malah ya senang saja.”
Benny menegaskan, kebijakan ini tak hanya melanggar hak konsumen untuk memahami barang apa yang akan dibeli, tapi juga hak kekayaan intelektual yang dilindungi undang-undang, utamanya yang terkait merek.
Hak merek adalah hak eksklusif bagi pemilik merek terdaftar untuk menggunakan merek tersebut dalam perdagangan barang dan jasa. Belum lagi, kata Benny, industri rokok adalah industri yang melibatkan jutaan pekerja dari hulu ke hilir dan telah menyumbang ratusan triliun rupiah tiap tahunnya ke kas negara dalam bentuk cukai.
Sepanjang 2023, cukai hasil tembakau yang diterima pemerintah menyentuh Rp213,48 triliun, turun 2,35% dibanding tahun sebelumnya.
“Jadi kita masih tergantung dengan industri rokok” kata Benny.
“Kalaupun mau diatur secara ketat, ya mungkin dengan gradual ya sehingga bisa lebih ada transisi yang cukup panjang.”
Merrijantij Punguan Pintaria, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, mengatakan penyeragaman kemasan rokok tak serta merta bisa menurunkan prevalensi perokok dan, justru, bisa memicu peredaran rokok ilegal.
Ia pun menekankan pentingnya mencari keseimbangan antara aspek kesehatan dan perekonomian masyarakat.
“Kami semua sepakat untuk menciptakan masyarakat yang sehat, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberadaan lebih dari 1.300 industri yang mempekerjakan sekitar 537.000 orang,” kata Merrijantij.
Angga Handian Putra, Negosiator Perdagangan Ahli Madya Kementerian Perdagangan, bilang kebijakan ini bisa memengaruhi perdagangan internasional dan mengganggu hak-hak pedagang. Sementara itu Askolani, Direktur Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan, mengatakan kebijakan ini bisa menyulitkan pengawasan karena sulit “membedakan rokok dan jenisnya”.
Tauhid Ahmad, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), bahkan memperkirakan kebijakan penyeragaman kemasan rokok bisa menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp182,2 triliun.
“Dampak ekonominya dengan kemasan polos tentu saja ini bukan hanya bagi para industri rokok, tapi juga industri kemasan untuk kertas, kemudian tembakau, cengkeh, termasuk yang lain juga terdampak,” kata Tauhid dalam sebuah diskusi pada 23 September lalu.
Lebih lanjut, menurutnya konsumen akan terdorong untuk beralih ke produk rokok ilegal yang lebih murah. Imbasnya, permintaan atas produk legal bisa turun 42,09% dan penerimaan negara bakal berkurang Rp95,6 triliun.
Siti Nadia Tarmizi, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, menepis kekhawatiran soal maraknya rokok ilegal akibat penerapan standardisasi kemasan. Ia memberi contoh Australia, yang menerapkan kebijakan serupa sejak Desember 2012.
“Tidak ada peningkatan rokok ilegal di Australia. Bukti dengan jelas menunjukkan bahwa konsumsi rokok ‘putih murah’ ilegal secara konsisten tetap kecil atau bahkan menurun setelah penerapan kemasan standar,” kata Siti.
“Dan, ini kan kalau ilegal adalah ranah penegak hukum ya.”
Sementara itu Beladenta Amalia, peneliti sekaligus project lead untuk pengendalian tembakau di CISDI, bilang orang-orang kerap “salah kaprah” saat mendiskusikan kebijakan pembatasan terhadap industri rokok, utamanya dengan membenturkan aspek kesehatan dan ekonomi.
“Semestinya ekonomi dan kesehatan itu tidak dibenturkan karena keduanya tidak berseberangan, tapi justru saling dukung,” ujarnya.
“Kesehatan adalah investasi ekonomi jangka panjang untuk memastikan produktivitas manusia tetap tinggi dan bisa menjalankan roda ekonomi. Juga, ekonomi penting bagi kesehatan karena jika masyarakat miskin, tentu sulit untuk mencapai status kesehatan yang baik.”
Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021 menemukan bahwa rumah tangga perokok di Indonesia umumnya mengalokasikan 11% dari pengeluaran bulanannya untuk rokok dan produk tembakau lain. Proporsi tersebut lebih besar dibanding alokasi belanja beras sebesar 9,7% atau daging sebesar 6,5%.
Padahal, menurut berbagai penelitian, kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko timbulnya sejumlah penyakit kronis, termasuk kanker serta gangguan paru-paru dan kardiovaskular. Sebuah riset yang didukung CISDI pada 2019 menunjukkan biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas akibat penyakit terkait rokok menghasilkan beban ekonomi senilai Rp184,36 triliun hingga Rp410,76 triliun.
Angka ini lebih besar dibanding temuan INDEF soal dampak ekonomi dari penerapan kebijakan standardisasi kemasan rokok, yang disebut bisa menyentuh Rp182,2 triliun.
“Jadi, lagi-lagi, menurut kami kalau masyarakat sehat, produktif, roda ekonomi akan berjalan, kualitas SDM kita juga akan semakin baik.”