Pasal 103 Ayat (3) menyebut pemberian pendidikan ini dapat diberikan melalui kegiatan belajar mengajar di sekolah dan luar sekolah.
Pasal 103 Ayat (4) menyebut sejumlah pelayanan kesehatan reproduksi usia sekolah dan remaja termasuk deteksi dini penyakit, pengobatan, konseling, dan penyediaan alat kontrasepsi.
Bagian penyediaan alat kontrasepsi pada usia sekolah dan remaja ini tidak dijelaskan lebih lanjut di pasal 103. Sementara di Pasal 104, yang mengatur pelayanan kesehatan reproduksi usia dewasa, penyediaan alat kontrasepsi secara jelas disebutkan bagi pasangan usia subur dan kelompok berisiko.
Patut dicatat bahwa norma dan agama juga tertera pada PP tentang Kesehatan ini.
Pasal 98 di dalam PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menyebut upaya kesehatan reproduksi “dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.”
Adapun Pasal 108 dalam PP tersebut juga menyebut “lembaga keagamaan, rumah ibadah, atau kantor urusan agama” sebagai tempat-tempat program kesehatan reproduksi selain fasilitas pelayanan kesehatan.
Kenapa pasal penyediaan kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja menuai polemik?
Netty Prasetiyani, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (RI) di Komisi IX yang membidangi kesehatan dan kependudukan, dalam pernyataannya menyebut PP yang ditandatangani pada tanggal 27 Juli tersebut “dapat menimbulkan anggapan pembolehan hubungan seksual pada anak usia sekolah dan remaja”.
“Aneh kalau anak usia sekolah dan remaja mau dibekali alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?” ujar anggota Partai Keadilan Sejahtera itu pada Minggu.
“Pasal 103 ayat 4 disebutkan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan reproduksi bagi siswa dan remaja ada penyebutan penyediaan alat kontrasepsi. Apakah dimaksudkan untuk memfasilitasi hubungan seksual di luar pernikahan?”
Selain itu, Netty juga mempertanyakan adanya kalimat “perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab” di usia anak sekolah dan remaja dalam PP Kesehatan.
“Perlu dijelaskan apa maksud dan tujuan dilakukannya edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggungjawab. Apakah ini mengarah pada pembolehan seks sebelum nikah asal bertanggungjawab?” ujarnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, ketika dihubungi menegaskan pelayanan kontrasepsi “bukan untuk semua remaja” melainkan “remaja yang sudah menikah tetapi menunda kehamilan”.
Netty menekankan kepada pemerintah untuk berhati-hati dalam membuat pasal yang dapat ditafsirkan secara liar oleh masyarakat. Dia pun mendesak agar PP tersebut segera direvisi.
“Harus ada kejelasan soal edukasi seputar hubungan seksual yang mana tidak boleh terlepas dari nilai-nilai agama dan budaya yang dianut bangsa,” tambahnya.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mendefinisikan pasangan usia subur (PUS) sebagai pasangan suami istri yang istrinya berumur antara 15-49 tahun, atau istri berumur kurang dari 15 tahun dan telah kawin dan sudah menstruasi, atau istri berumur lebih dari 49 tahun tetapi belum menopause. Nadia menjelaskan Kementerian Kesehatan akan menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang memperjelas aturan tersebut.
“Permenkes masih dalam penyusunan. Tetapi akan segera diterbitkan supaya program bisa jalan,” ujarnya.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, mengatakan sasaran pihaknya dalam pemberian alat kontrasepsi selama ini adalah pasangan suami istri atau yang oleh BKKBN dirujuk sebagai pasangan usia subur, sementara untuk usia sekolah dan remaja, Hasto mengatakan yang dilakukan selama ini adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi dan bukannya pemberian alat kontrasepsi.