Aktivis dan konsultan gender, Tunggal Pawestri, mengapresiasi terbitnya PP Nomor 28 tahun 2024 yang memuat hak-hak kesehatan reproduksi bagi anak dan remaja, menurut Tunggal, peraturan pemerintah ini sungguh diperlukan “mengingat tingginya angka kehamilan tidak diinginkan yang juga berpengaruh terhadap tingginya stunting”.
Di sisi lain, Tunggal mengaku skeptis mengenai apakah PP Nomor 28 Tahun 2024 ini akan benar-benar dilaksanakan di lapangan.
“Kita juga sudah punya PP Kesehatan Reproduksi Nomor 61 Tahun 2014, tapi tetap saja remaja masih kesulitan mengakses informasi apalagi layanan kesehatan yang ramah,” ujar Tunggal.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014 mengenai Kesehatan Reproduksi juga mengatur pelayanan kesehatan reproduksi remaja di Pasal 11 dan Pasal 12. Walaupun begitu, kedua pasal itu tidak secara gamblang menyebut penyediaan pelayanan kontrasepsi terhadap remaja.
“Kita lihat saja nanti prakteknya, saya yakin bahwa pemerintah tidak akan secara serius implementasikan ini di lapangan, dan nanti jika ditanya atau ditagih, kita rasanya bisa menduga apa jawaban mereka. Banyak kok contohnya indah di kertas, nol besar di pelaksanaan,” tukas Tunggal.
Disinggung mengenai pelaksanaan PP Nomor 28 Tahun 2024 dalam konteks kaidah-kaidah agama, Tunggal mengatakan tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan.
“Siapa sih yang enggak tahu kalau di Indonesia, hampir semua hal selalu dikaitkan dengan agama? Tapi jangan sampai kita tutup mata dan tidak peduli dengan fakta dan data di lapangan bahwa banyak remaja sudah aktif secara seksual,” ujarnya.
Sementara itu, psikolog anak dan remaja Grace Eugenia Sameve menyambut baik adanya PP Nomor 28 Tahun 2024 dan berpikir lebih positif. Dia menyebut seksualitas merupakan suatu faktor yang tidak dapat dipisahkan dari manusia sejak lahir .
“Maka upaya untuk merawat [kesehatan reproduksi] perlu diupayakan serta dikenalkan sejak dini, tentunya perlu disesuaikan dengan usia atau tahap perkembangan anak,” ujarnya.
“PP ini merupakan satu upaya yang patut didukung walaupun tentunya keberhasilan akan sangat membutuhkan implementasi dari berbagai pihak.”
Di sisi lain, Grace menyebut PP Nomor 28 Tahun 2024 bisa menjadi acuan untuk memastikan setiap anak dan remaja mendapat informasi dan akses layanan yang setara terlepas dari latar belakang maupun lokasi geografis mereka.
“‘Penyediaan alat kontrasepsi’ bisa menjadi upaya yang bermanfaat untuk populasi tertentu saat ini. Jika misalnya, ke depannya dinilai tidak relevan, maka bisa direvisi kembali,” ujarnya.
“Mengingat tujuannya baik, semoga selama prosesnya kita semua selalu saling melindungi dan memikirkan kepentingan terbaik dari satu sama lain,” ujarnya.