Akhirnya, cairan tersebut dimasukkan ke dalam salah satu dari beberapa tangki besar tempat terjadinya fermentasi, berkat bakteri dalam asam laktat. Ecofeed yang dihasilkan membuat peternak mengeluarkan biaya sekitar setengah harga pakan konvensional. Peternakan juga dapat menyesuaikan formula mereka sesuai dengan kebutuhan mereka – meminta lebih banyak lisin atau asam amino lainnya, misalnya, untuk meningkatkan lemak atau massa otot pada babi mereka.
Menurut Dan Kawakami, seorang peternak di Azumino Eco Farm di Nagano yang dipasok oleh pusat daur ulang pangan itu sejak tahun 2006, kualitas daging babi dari hewan yang dipelihara dengan ecofeed lebih baik.
"Menggunakan sumber pakan yang berkelanjutan juga membedakan produk kami dari pesaing dan ini menguntungkan dari segi biaya,” ujarnya.
Daging babi ramah lingkungan dari peternakan seperti Azumino dijual oleh puluhan restoran, supermarket, dan swalayan yang jumlahnya terus bertambah di Jepang.
Penjualan daging babi ini menghasilkan lebih dari 350 juta yen (Rp37,9 miliar) dalam setahun. “Ini menjadi populer sebagai daging yang lezat dan ramah lingkungan,” katanya.
Tahun lalu, Takahashi juga menggunakan biogas–energi terbarukan yang dihasilkan dari fermentasi metana. Pengoperasian biogas memperluas jenis makanan yang dapat diolah oleh pabrik daur ulang karena babi tidak boleh mengonsumsi makanan yang kandungan lemak, garam, atau minyaknya terlalu tinggi.
Dalam tong-tong berkapasitas 1.500 ton sisa-sisa makanan dicampur dengan air dan dipanaskan untuk menghasilkan fermentasi. Generator konversi listrik mengubah metana yang dihasilkan menjadi listrik, yang juga Takahashi jual ke jaringan listrik.
Pembangkit tersebut saat ini menghasilkan energi listrik sebesar 12.672kWh per hari, setara dengan kebutuhan listrik 1.000 rumah tangga. Produk sampingan padat dari proses ini–berupa bubuk hitam yang berbau seperti bumbu gurih–dikeringkan menggunakan kelebihan panas generator dan dijual sebagai pupuk pertanian yang kaya nutrisi.
Seperti yang dikatakan Takahashi, "tidak ada yang sia-sia" dari seluruh proses tersebut.
Yang penting, pusat daur ini mendapat keuntungan dari 35.000 ton sampah makanan yang mereka proses setiap tahunnya.
“Kami menumbangkan anggapan konvensional bahwa upaya penyelamatan lingkungan tidak membuahkan hasil, atau bahwa daur ulang itu terlalu mahal,” kata Takahashi.
Karena tujuannya adalah "untuk mengubah masyarakat", Takahashi tidak mengambil hak paten apa pun atas teknologi tersebut. Tujuannya memungkinkan orang lain untuk meniru metodenya.
Pusat daur ulang pangan tersebut telah menjadi cetak biru untuk fasilitas lain di Jepang yang menggunakan metode fermentasinya. Bersama-sama, mereka menghasilkan lebih dari satu juta ton ecofeed per tahun, membuktikan, kata Takahashi, bahwa upaya ekologis dan berkelanjutan dapat menghasilkan keuntungan.
Takahashi juga secara rutin menyambut mahasiswa, para peneliti, dan eksekutif industri dari seluruh dunia yang datang untuk belajar tentang fermentasi dan limbah makanan. Seperti yang dia lakukan sejak awal, Takahashi mengakhiri tur yang dia jalani dengan menyajikan panganan berbahan daging babi itu sendiri, agar orang dapat menilai sendiri kualitasnya.
Disajikan dengan gaya tonkatsu– digoreng dan dipadukan dengan nasi serta salad yang diproduksi oleh pertanian yang sama. Daging babi itu sangat empuk, dengan rasio lemak dan daging yang pas. Makanan yang sama disajikan tiga kali seminggu kepada staf pusat daur ulang tersebut, kata Takahasi, untuk memotivasi mereka dengan mencicipi betapa enaknya daging babi yang diberi makan dari produk mereka sendiri.
Rachel Nuwer adalah jurnalis sains lepas dan penulis yang tinggal di New York City. Liputannya di Jepang didukung oleh hibah dari Abe Fellowship Program, yang dikelola oleh Social Science Research Council dan Japan Foundation New York.