Pengalaman buruk masa lalu menjadi pelajaran berharga. Salah satunya adalah penggalian Kota Troy oleh Heinrich Schliemann pada abad ke-19. Karena dilakukan dengan metode yang kasar, banyak artefak penting dari situs bersejarah itu justru hancur dan hilang. Para arkeolog modern tidak ingin kesalahan serupa terulang dalam skala yang lebih besar, terutama untuk situs bersejarah sekelas makam Qin Shi Huang yang nilainya tak ternilai.
Untuk menghindari risiko tersebut, para ilmuwan kini mengandalkan teknologi non-invasif. Salah satu metode yang diusulkan adalah pemindaian partikel muon, yaitu teknik canggih yang bekerja seperti sinar-X raksasa yang memanfaatkan partikel kosmik untuk memetakan isi struktur di bawah tanah. Meskipun menjanjikan, teknologi ini masih memiliki keterbatasan dan belum bisa memberikan gambaran menyeluruh tentang isi makam.
Selain potensi kerusakan fisik, ada ancaman lain yang membuat para peneliti ekstra hati-hati: bahaya kontaminasi merkuri. Berdasarkan analisis tanah di sekitar makam, ditemukan kadar merkuri yang sangat tinggi. Hal ini memperkuat catatan dari sejarawan kuno Tiongkok, Sima Qian, yang dalam karyanya menggambarkan interior makam yang luar biasa rumit dan berbahaya.
Menurut catatan Sima Qian, makam sang kaisar dipenuhi dengan perangkap mekanis, termasuk busur otomatis yang akan menembakkan panah kepada penyusup, serta sungai merkuri yang menggambarkan Sungai Kuning dan Sungai Yangtze. Elemen-elemen ini dipercaya dibuat untuk melindungi sang kaisar dari gangguan setelah kematiannya. Menariknya, pada masa itu merkuri dianggap sebagai bahan yang memiliki kemampuan memberikan keabadian. Namun bagi ilmu pengetahuan modern, merkuri justru merupakan racun berbahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia dan merusak lingkungan.