Kejahatan Fake BTS bukanlah isu baru. Modus serupa sempat mencuat dalam pelaksanaan pemilu seperti Pilkada dan Pilpres pada tahun 2019 dan 2023. Saat itu, oknum menggunakan teknologi BTS palsu untuk memata-matai atau memanipulasi komunikasi di sekitar area tertentu.
Memasuki tahun 2025, pola kejahatan ini berkembang lebih kompleks dan menyasar dunia perbankan. Beberapa wilayah seperti Jakarta, Bandung, dan Denpasar dilaporkan menjadi target utama. Pelaku menyamar sebagai perwakilan bank resmi dan menggunakan BTS palsu untuk mendapatkan akses ke data sensitif nasabah. Dalam banyak kasus, korban bahkan tidak menyadari bahwa ponsel mereka sedang terkoneksi dengan jaringan tidak resmi—hingga rekening mereka dibobol dan dana raib dalam hitungan menit.
Denny Setiawan, Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), menjelaskan bahwa alat pemancar sinyal palsu ini sangat sulit dilacak. Alasannya, perangkat tersebut bersifat intermittent, alias hanya aktif dalam waktu sangat singkat—sekitar dua menit—lalu berpindah lokasi. Bahkan ada alat yang cukup kecil untuk disembunyikan di dalam saku atau kendaraan, menjadikannya sangat mobile dan sulit dideteksi aparat.
"Perangkat ini bisa hanya aktif selama dua menit, kemudian hilang jejaknya. Sifatnya sangat mobile dan intermittent, jadi melacak sumber pancaran sangatlah menantang," ujar Denny dalam sebuah wawancara.
Langkah Android 16 dalam mengintegrasikan sistem perlindungan jaringan semacam ini bisa menjadi tonggak penting dalam keamanan digital konsumen. Seiring meningkatnya ancaman siber, perlindungan perangkat tidak bisa lagi hanya bergantung pada aplikasi antivirus atau VPN semata. Perlu ada perlindungan langsung dari sistem operasi yang mendeteksi potensi ancaman sebelum terjadi.