Sementara itu, isu politik dan ketidakpastian ekonomi global masih menjadi tantangan bagi pemulihan penuh pasar smartphone Indonesia. Vanessa Aurelia, Analis Riset IDC Indonesia, menyampaikan bahwa pertumbuhan pasar smartphone di Indonesia diperkirakan akan melambat menjadi satu digit pada tahun 2025. "Pertumbuhan saat ini datang lebih dari sisi penawaran, sementara permintaan tetap lesu," jelasnya.
Di tengah kondisi persaingan yang ketat ini, pasar smartphone 5G juga mengalami peningkatan signifikan, mencatatkan angka sebesar 25,8% dibandingkan dengan 17,1% pada tahun lalu. Kenaikan ini disebabkan oleh perilisan model-model baru yang semakin terjangkau pada tahun 2024. Para produsen mulai memperhatikan kebutuhan konsumen untuk mendapatkan perangkat 5G dengan harga yang lebih bersahabat.
Setelah Transsion, posisi kedua ditempati oleh Xiaomi dengan pangsa pasar 17,5%. Merek ini mencatat lonjakan 19,1% dibandingkan tahun lalu. Vivo menempati posisi ketiga dengan pangsa pasar 17%, memantulkan kenaikan sebesar 6,6%. Sementara itu, Samsung dan Oppo masing-masing berada di peringkat keempat dan kelima, dengan pangsa pasar 16,6% dan 14,8%. Samsung mengalami penurunan 6,2% YoY, sementara Oppo mengalami peningkatan sebesar 2,2% YoY.
Tak dapat dipungkiri, kehadiran merek-merek seperti Transsion memberikan dampak yang signifikan terhadap perilaku konsumen di Indonesia. Dengan harga yang bersaing dan fitur yang memadai, banyak masyarakat Indonesia tertarik untuk memilih merek-merek yang sebelumnya kurang dikenal. Ini menunjukkan bahwa pelanggan kini tidak lagi terpaku pada merek-merek lama, melainkan lebih pada kualitas dan nilai yang ditawarkan oleh produk.
Lebih lanjut, dalam mempelajari tren ini, penting untuk melihat bagaimana Transsion dan merek-merek lainnya akan bersaing di tahun mendatang. Dengan inovasi berkelanjutan, peluncuran produk baru, dan penyesuaian terhadap kebutuhan konsumen, sangat menarik untuk melihat ke mana arah dan skema persaingan di sektor smartphone Indonesia ini.