Sementara itu, seorang pejabat Gedung Putih mengungkapkan bahwa pemerintahan Biden, yang akan berakhir pada 20 Januari, tidak berencana untuk memberlakukan larangan tersebut pada dua hari terakhir masa jabatannya. Pemerintah Biden menyerahkan keputusan ini kepada pemerintahan Trump yang baru. Meskipun demikian, belum ada kejelasan apakah TikTok masih bisa beroperasi jika tidak ada perpanjangan resmi dari pemerintahan yang akan datang.
Pada saat yang sama, Mahkamah Agung AS juga tengah memutuskan apakah akan menegakkan undang-undang yang mengizinkan TikTok dilarang pada 19 Januari jika divestasi tidak dilakukan, atau apakah mereka akan membatalkan atau menunda hukum tersebut untuk memberi lebih banyak waktu bagi hakim untuk mengambil keputusan lebih lanjut.
Beberapa laporan mengindikasikan bahwa keputusan Mahkamah Agung dapat diumumkan pada Jumat, 17 Januari 2025, namun hingga saat ini, belum ada kepastian terkait keputusan tersebut.
Yang membuat situasi semakin menarik adalah perubahan sikap Trump terkait TikTok. Pada masa pemerintahannya yang pertama, Trump dikenal dengan sikap kerasnya yang mendukung pelarangan TikTok di AS, yang memicu perdebatan sengit.
Namun, dalam perkembangan terakhir, Trump telah mengubah pandangannya secara signifikan. Dia kini mendukung agar TikTok tetap beroperasi di AS, bahkan menganggap platform ini penting untuk mendukung kampanye politiknya.
Pergeseran sikap Trump terhadap TikTok terjadi setelah ia menyadari potensi platform ini dalam mempengaruhi kampanye politik, dengan TikTok berperan besar dalam menarik perhatian generasi muda yang merupakan pemilih potensial dalam pemilu.
Selain itu, Trump juga mendapat dukungan dari eksekutif teknologi dan beberapa donatur Partai Republik, salah satunya Jeff Yass, yang diketahui memiliki saham besar di ByteDance, perusahaan induk TikTok. Dukungan ini tampaknya menjadi salah satu faktor yang mendorong Trump untuk melunakkan sikapnya terhadap TikTok, berbeda dengan kebijakan yang diambil pada awal masa pemerintahannya.