Dengan peta persaingan seperti ini, kita bisa melihat bahwa dunia tengah berada dalam masa transisi menuju era kendaraan pintar. Robotaxi bukan lagi sekadar konsep futuristik, melainkan solusi nyata yang mulai mengaspal di jalanan kota besar dunia. Tidak menutup kemungkinan dalam 5–10 tahun ke depan, layanan ini akan menyentuh berbagai lapisan masyarakat di seluruh penjuru dunia, termasuk Asia Tenggara.
Indonesia sebagai negara dengan tingkat penggunaan transportasi daring yang tinggi tentu tidak akan bisa menghindar dari gelombang besar ini. Cepat atau lambat, kehadiran robotaxi bisa mengubah lanskap industri transportasi, menantang eksistensi driver ojol yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi digital lokal.
Meski demikian, kehadiran teknologi seharusnya tidak serta-merta menjadi ancaman. Justru, tantangan ini bisa dijadikan peluang jika pemerintah, perusahaan, dan masyarakat mau beradaptasi dan mempersiapkan langkah antisipatif. Salah satunya adalah dengan membentuk regulasi yang tepat guna, menciptakan ekosistem pelatihan ulang (reskilling) bagi para pekerja terdampak, dan mendorong kolaborasi lokal dengan perusahaan global.
Kini dunia sedang menyaksikan persaingan antara dua kekuatan besar: AS dan China, yang berebut dominasi dalam sektor kendaraan otonom. Siapa yang lebih siap dan siapa yang lebih cepat menaklukkan pasar global akan menentukan arah masa depan mobilitas kita.
Indonesia pun tak bisa tinggal diam. Pertanyaan besarnya adalah: apakah kita siap menyambut kedatangan mobil tanpa sopir ini, atau justru akan tertinggal jauh di belakang?