Faktanya, Uber dan WeRide bukanlah mitra baru. Kemitraan ini dimulai sejak tahun 2024, saat keduanya bersama-sama meluncurkan layanan robotaxi komersial di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dari sana, kolaborasi mereka terus berkembang, menandai era baru dalam dunia transportasi global.
Namun di balik kemajuan pesat ini, tersimpan kekhawatiran yang sangat nyata: potensi hilangnya pekerjaan bagi para pengemudi online, seperti ojek online (ojol) dan taksi konvensional. Semakin banyak wilayah yang mengizinkan pengoperasian mobil tanpa sopir, semakin besar kemungkinan profesi driver akan tergerus oleh teknologi.
Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan oleh pekerja transportasi di negara maju, tapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Meskipun saat ini layanan robotaxi belum hadir secara resmi di tanah air, ekspansi besar-besaran oleh perusahaan China dan AS bisa saja menjadikan Indonesia sebagai target pasar berikutnya. Jika hal itu terjadi, maka tantangan besar akan muncul, terutama dalam aspek regulasi dan kesiapan infrastruktur.
Perlu diketahui, perkembangan pesat robotaxi di China dipicu oleh sistem regulasi yang lebih longgar dan mendukung inovasi teknologi. Pemerintah setempat cenderung memberikan kemudahan dalam pengujian dan peluncuran kendaraan otonom. Sebaliknya, di Amerika Serikat, aturan terkait kendaraan otonom jauh lebih ketat. Perusahaan teknologi di sana harus melewati berbagai tahapan uji coba dan memenuhi syarat keselamatan sebelum bisa mengoperasikan robotaxi secara komersial.
Hingga saat ini, baru Waymo, anak usaha dari Google, yang berhasil mendapatkan izin komersial untuk layanan robotaxi di beberapa wilayah Amerika Serikat. Sementara itu, Tesla yang selama ini dikenal sebagai pelopor kendaraan listrik masih dalam tahap pengajuan izin layanan serupa.