Ketegangan hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas setelah Presiden AS, Donald Trump, secara resmi mengumumkan kebijakan tarif bea masuk terbaru. Keputusan ini langsung memicu efek domino dalam bentuk serangan balasan dari Beijing, menciptakan atmosfer baru dalam perang dagang global yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Tarif baru yang diumumkan bukan sekadar kebijakan biasa—tarif bea masuk yang diberlakukan kedua negara kini menembus angka lebih dari 100%, menciptakan beban besar bagi sektor industri dan rantai pasok global yang selama ini saling bergantung satu sama lain. Namun, di balik panasnya konflik ekonomi ini, ada sinyal menarik yang datang dari Tiongkok.
Xi Jinping Lembut pada Chip AS, Ada Apa?
Pada April lalu, Presiden China Xi Jinping secara mengejutkan mengumumkan pelonggaran tarif pada delapan kategori chip buatan Amerika Serikat. Tarif yang sebelumnya mencapai 125% kini dibebaskan untuk beberapa kategori penting.
Langkah ini dianggap tidak biasa mengingat sikap keras China selama beberapa tahun terakhir terhadap produk-produk teknologi asal AS. Namun, menurut laporan Wall Street Journal, keputusan tersebut bukan tanpa alasan. Pelonggaran tersebut terjadi usai adanya lobi kuat dari sejumlah produsen mobil China yang bergantung pada pasokan chip dari Amerika.
Para pengusaha otomotif itu mendesak pemerintah untuk membuka akses agar mereka tetap dapat memproduksi kendaraan dengan fitur teknologi canggih, tanpa terhambat mahalnya komponen chip akibat tarif.
Target Ambisius: Produksi Chip Lokal Tetap Jalan
Meskipun ada pelonggaran terhadap chip impor, Pemerintah China tetap tidak melonggarkan visi jangka panjangnya dalam mengurangi ketergantungan terhadap teknologi luar negeri, khususnya dari AS.
Beijing memastikan bahwa setidaknya 25% dari chip kendaraan harus diproduksi di dalam negeri mulai tahun ini. Target ini cukup ambisius, mengingat pada akhir tahun 2025, China ingin mencapai tingkat produksi domestik sebesar 15% untuk semua kebutuhan chip kendaraan.