Dreier juga menyampaikan bahwa pemotongan anggaran ini membuat NASA harus beroperasi dengan pendanaan paling kecil sejak era Project Mercury di awal 1960-an. Inflasi yang tinggi hanya menambah tekanan bagi organisasi ini untuk tetap berjalan.
Sains Dikorbankan, Hanya Proyek Praktis yang Dipertahankan
Jika dilihat secara menyeluruh, pemotongan yang dilakukan tidak merata. Program-program yang berorientasi praktis dan ekonomi, seperti transmisi data cuaca satelit untuk sektor pertanian, masih mendapat pendanaan. Namun, sebaliknya, penelitian perubahan iklim dan eksplorasi astrofisika justru dipangkas habis-habisan.
Bahkan, 19 proyek penelitian luar angkasa yang telah aktif terancam dibatalkan akibat kurangnya anggaran. Ini tentu menjadi kemunduran besar, mengingat proyek-proyek tersebut merupakan investasi jangka panjang yang kritikal untuk penemuan ilmiah global.
Ironisnya, meski proyek ilmiah dipangkas, dua program besar tetap dipertahankan oleh Trump: Proyek Artemis yang menargetkan manusia kembali ke Bulan pada 2027 atau awal 2028, serta rencana pendaratan awak di Mars, meskipun jadwal pasti belum ditentukan karena kompleksitas teknis.
Cita-Cita Dominasi Antariksa AS vs Realita Penghentian Proyek
Dalam pidatonya, Trump kerap menyuarakan ambisinya agar Amerika Serikat tetap menjadi pemimpin luar angkasa, mengungguli Tiongkok, Rusia, dan negara lain. Namun, kebijakan yang ia buat justru tampak bertentangan dengan ambisi tersebut.
“Amerika akan selalu menjadi yang pertama di luar angkasa,” ucap Trump dalam masa jabatan pertamanya. Tapi di balik slogan nasionalistik itu, dukungan nyata terhadap NASA justru minim, bahkan bertolak belakang.
Akar Masalah: Blueprint Project 2025?
Salah satu tokoh yang diduga berada di balik skenario pengurangan ini adalah Russell Vought, Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih. Ia juga dikenal sebagai penulis utama dari Project 2025, sebuah dokumen strategi kebijakan berhaluan konservatif yang tidak menyebut NASA sama sekali.