Batu meteor yang ditemukan di sana merupakan hasil dari lelehan pasir dan silika yang bercampur dengan nikel, sebuah unsur logam berat yang sering ditemukan di meteorit. Thompson menjelaskan bahwa campuran bahan kimia tersebut menghasilkan lapisan berwarna putih di bagian dalam batu dan lapisan hitam yang melapisi bagian luar, yang terbuat dari nikel dan ferum (besi) antariksa. Karakteristik inilah yang menurutnya paling mirip dengan ciri fisik Hajar Aswad.
Lapisan putih yang awalnya memancarkan cahaya seperti yang diceritakan dalam kisah Hajar Aswad mungkin berasal dari paparan bagian dalam inti batu meteorit itu. Namun, lapisan putih ini sangat rapuh dan mudah hancur. Seiring waktu, lapisan hitam yang lebih kuat dan padat menutupi lapisan putih tersebut, membuat batu itu berubah warna dari putih menjadi hitam seperti yang kita lihat sekarang.
Dengan penjelasan tersebut, perubahan warna Hajar Aswad yang secara tradisional dipercaya karena menyerap dosa umat manusia dapat dijelaskan secara ilmiah sebagai proses alami dari perubahan fisik batu meteor tersebut. Bintik-bintik putih yang masih terlihat di dalam batu dianggap sebagai sisa-sisa kaca dan batu pasir hasil pembentukan meteorit. Berdasarkan penelitian ini, Thompson berkesimpulan bahwa batu meteor yang ditemukan di gurun Wabar sangat mungkin merupakan batu yang sama dengan Hajar Aswad yang ada di Ka’bah.
Meski begitu, teori ini tidak tanpa kelemahan. Salah satu argumen yang menentang adalah bahwa batu meteor biasanya tidak mengapung dan tidak mudah pecah menjadi bagian kecil seperti beberapa bagian batu Hajar Aswad. Ini menjadi salah satu kendala dalam mengonfirmasi secara penuh bahwa batu suci tersebut adalah meteorit. Thompson sendiri menyatakan bahwa penelitian lebih lanjut tentang material batu meteor masih diperlukan agar bisa mendapatkan jawaban yang lebih akurat dan meyakinkan.