Industri kendaraan otonom, khususnya taksi tanpa sopir atau robotaxi, tengah berada dalam fase persaingan paling sengit. Layanan transportasi futuristik ini diperkirakan akan menggantikan profesi sopir online dan menciptakan “kiamat pekerjaan” di sektor tersebut. Berbagai produsen otomotif, baik dari Tiongkok maupun Amerika Serikat, berlomba-lomba mengembangkan teknologi mengemudi otomatis yang menjanjikan keamanan dan efisiensi tinggi.
Perusahaan ride-hailing raksasa seperti Uber dan Lyft juga tak mau tertinggal. Mereka aktif menjalin kerja sama strategis demi menghadirkan layanan robotaxi secara masif. Visi mobil yang bisa berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia tampaknya bukan lagi sekadar mimpi, melainkan sudah menjadi target komersialisasi dalam waktu dekat.
Ide soal mobil tanpa pengemudi sebenarnya sudah lama dipopulerkan oleh Elon Musk, CEO Tesla. Pada tahun 2016, Musk memperkenalkan fitur Full Self-Driving (FSD), sistem pengemudian otomatis yang diklaim mampu mengendalikan mobil secara mandiri tanpa intervensi pengemudi.
Namun seiring waktu, berbagai klaim Musk mulai diragukan. Salah satu kontroversi mencuat ketika Tesla merilis video promosi untuk menunjukkan kemampuan FSD. Video tersebut menampilkan mobil Tesla yang seolah-olah berjalan otomatis dalam berbagai situasi lalu lintas yang kompleks. Tapi belakangan terungkap bahwa video itu ternyata hasil rekayasa. Tesla akhirnya menghapus video tersebut dan menyatakan bahwa teknologinya memang sedang dikembangkan, tetapi belum sepenuhnya siap digunakan secara umum.
Kebohongan Musk tak berhenti di situ. Enam tahun lalu, ia juga mengumumkan rencana Tesla untuk meluncurkan satu juta unit robotaxi pada tahun 2020. Hingga kini, tidak ada realisasi konkret dari pernyataan tersebut.
Sementara itu, kompetitor dari Tiongkok seperti WeRide justru sudah melangkah lebih jauh dengan mengoperasikan armada robotaxi mereka hingga ke Abu Dhabi. Waymo, perusahaan robotaxi milik Alphabet (induk Google), juga aktif memperluas operasinya di sejumlah negara bagian AS.