Sayangnya, dalam wawancara eksklusif dengan CNBC International, Lutnick mengungkapkan bahwa teknologi yang dibutuhkan untuk memindahkan proses perakitan kompleks seperti iPhone ke Amerika belum tersedia saat ini. Ia menjelaskan bahwa CEO Apple, Tim Cook, pernah menyebutkan bahwa perusahaan membutuhkan robot lengan otomatis yang sangat presisi dan bisa bekerja dalam skala besar untuk bisa memindahkan produksi tersebut ke AS.
"Jika saja teknologinya sudah ada, maka pada hari itu juga produksi akan dipindahkan ke sini," kata Lutnick.
iPhone Buatan AS Bisa Capai Harga Rp 56 Juta
Sementara itu, analis dari Wedbush Securities, Dan Ives, menilai rencana pemindahan produksi ini tidak realistis. Menurut perhitungannya, proses relokasi dari luar negeri ke AS akan memakan waktu setidaknya satu dekade, dan tentu saja biaya produksi akan melonjak tajam. Ia memprediksi harga iPhone bisa mencapai US$ 3.500 atau setara Rp 56 juta jika sepenuhnya diproduksi di Amerika.
"Kami meyakini bahwa produksi iPhone di Amerika hanyalah mimpi belaka. Konsep ini terlalu idealistis dan tidak sejalan dengan realita operasional manufaktur global saat ini," ujar Ives.
Hambatan Hukum: Trump dan UU Darurat Ekonomi
Di luar persoalan teknis dan biaya, Trump juga menghadapi tantangan besar dari sisi hukum. Ia berencana menggunakan Undang-Undang Kekuatan Ekonomi Darurat Internasional sebagai dasar hukum untuk memaksa Apple memindahkan produksinya ke Amerika. UU ini memberikan kekuasaan kepada Presiden AS untuk mengambil tindakan ekonomi dalam situasi darurat nasional.
Namun, penggunaan undang-undang tersebut tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Menurut Sally Stewart Laing, seorang pengacara dari firma hukum Akin Gump, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit memperbolehkan Presiden mengenakan tarif khusus hanya untuk satu perusahaan. Meski begitu, Trump bisa saja berargumen bahwa hal ini masuk dalam kewenangannya sebagai presiden dalam kondisi darurat.