Gambar dari satelit Aqua milik NASA menunjukkan sisi utara A23a mulai terpecah, memunculkan ribuan puing-puing kecil yang terlihat seperti bintang-bintang di langit malam. Gunung-gunung es mini itu, meski jauh lebih kecil dari A23a, tetap menyimpan potensi bahaya bagi kapal yang melintas karena ukurannya sulit diprediksi.
Dari sekian banyak bongkahan es yang terlepas, yang terbesar diberi nama A23c dengan luas sekitar 130 kilometer persegi. Puing ini saat ini bergerak ke arah selatan. Menurut NASA, sejak A23a kembali terperangkap pada Maret 2025, luas permukaannya telah menyusut sekitar 520 kilometer persegi. Jika laju kehancuran ini terus berlangsung, para ilmuwan memperkirakan gunung es tersebut bisa benar-benar menghilang dalam beberapa tahun ke depan.
Per 16 Mei 2025, ukuran A23a hanya berbeda sedikit dari gunung es terbesar berikutnya, D15A, yang menunjukkan bahwa mahkota gunung es terbesar dunia bisa segera berpindah tangan.
Namun, bukan hanya ukurannya yang menjadi perhatian. Dampak ekologis dari keberadaan gunung es raksasa ini juga menimbulkan kekhawatiran. Georgia Selatan sendiri adalah wilayah tak berpenghuni yang hanya dikunjungi oleh sejumlah peneliti setiap tahunnya. Tapi wilayah ini merupakan rumah bagi berbagai satwa liar penting, termasuk anjing laut, burung laut, dan koloni besar penguin yang diperkirakan berjumlah 2 juta ekor menurut BirdLife International.
Keberadaan gunung es besar di dekat wilayah ini dapat mengganggu pola migrasi dan perburuan makanan hewan-hewan tersebut. Misalnya, penguin mungkin harus berenang ratusan mil lebih jauh hanya untuk menemukan sumber makanan, tergantung dari posisi gunung es tersebut. Selain itu, lelehan dari gunung es juga berpotensi mengubah suhu serta kadar garam di perairan sekitarnya, yang berdampak pada keseimbangan ekosistem laut.